Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Ja’i-Bahasa Flores Ngada- Tarian Persaudaraan


Tari Ja’i ini merupakan salah satu tarian tradisional masyarakat suku Ngada yang sering ditampilkan dalam ritus Sa'o Ngaza. Tarian ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan masyarakat. Tari Ja’i ini biasanya dilakukan secara masal oleh masyarakat suku Ngada, semakin banyak yang mengikuti tarian tersebut maka akan semakin hikmat. Bagi masyarakat Ngada, selain sebagai ungkapan rasa syukur, Tari Ja’i juga memiliki nilai-nilai kehidupan masyarakat yang sangat penting didalamnya.

Tari Ja’i ini merupakan tarian tradisional yang dilakukan secara masal dan dapat dilakukan oleh penari pria maupun wanita, semakin banyak peserta yang mengikuti tarian, itu semakin bagus. Dalam pertunjukannya para penari berbaris dan bergerak secara bersamaan dengan gerakan khas Tari Ja’i mengikuti alunan irama dari musik pengiring. Gerakan Tari Ja’i ini cukup sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang. Namun karena dilakukan bersama-sama maka tarian ini terasa meriah dan menyenangkan.

Dalam pertunjukannya, para penari diiringi oleh irama musik gong dan gendang yang disebut dengan Laba go. Laba go ini terdiri dari dhera, wela-wela, uto-uto, meru dan laba. Kelima alat musik tersebut dimainkan dengan padu dan menghasilkan irama musik Ja’i yang khas. dalam pertunjukan Tari Ja’i, biasanya gerakan tari harus disesuaikan dengan iringan musik Laba go tersebut

Dalam pertunjukan Tari Ja’i para penari harus menggunakan pakaian adat lengkap. Untuk pakaian adat laki-laki biasanya terdiri boku, mara ngia, sapu, lu’e, keru, lega jara, dhegho dan sau. Sedangkan pakaian adat perempuan terdiri dari lua manu, lawo, mara ngia, dhegho, lega jara, kasa sese, keru, dan butu.

Dalam perkembangannya, Tari Ja’i ini mulai mendapatkan perhatian dan dikenal oleh masyarakat luas. Kini Tari Ja’i tidak hanya ditampilkan untuk acara adat tertentu saja, tarian ini juga sering ditampilkan di berbagai acara budaya, baik di tingkat daerah, nasional, bahkan internasional. Selain itu berbagai variasi dan modifikasi juga sering dilakukan dalam pertunjukannya, agar terlihat lebih menarik dan tidak kaku, namun tidak meninggalkan bentuk aslinya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk usaha melestarikan tradisi dan budaya, agar tidak punah dan tetap hidup seiring dengan perkembangan zaman.

Tarian ini juga sering digunakan secara inkulturatif dalam Gereja. Ja’i mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraan , yang ditandai dengan tindakan konkret untuk memproklamasikan identitas kolektifnya (sa ngaza) yang terhubung dengan kekudusan (dalam nama “ susu keri asa kae” dan wajib “memberi makan” kepada sesama yang terhubung dengan pemberdayaan gizi jasmani-rohani. Selain sebagai ungkapan rasa syukur, tarian ja’i juga memiliki nilai-nilai kehidupan masyarakat yang sangat penting di dalamnya, baik dalam bersosial dan bermasyrakat. Dalam tarian ini kita bisa melihat bagaiman semangat kebersamaan itu selalu terjalin diantara mereka. Tarian ja’i memiliki karateristik gerak dan penggunaan ruang yang sedikit dalam bentuk barisan dan dilakukan secara berulang-ulang. Sebagai tarian masal atau komunal, keindahan dan daya pikat ja’i terletak pada keseragaman, dan energi dari para peanri. Gerakan tarian ja’i ini cukup sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, namun karena dilakukan secara bersama-sama maka tarian ini tersa sangat meriah dan menyenagkan. Tarian ini biasa dialkukan di tengah kampung (nua); lokasi yang disarankan sebagai temapt pemujaan.

Acara pembukaan kegiatan ka nua yang diawali dengan sa ngaza (sapaan adat: awal memulai ja’idilakuakan oleh pemimpin dan dilakukan oleh setiap kelompok yang dituankan dari masing-masing klan atau woe dan masyarakat (wai laki lobo tozo tara dhaga). Oleh mori lengi (tuan kampung) sebagai pembukaan untuk ulu nua wena serta para wai laki tara dhaga lobo tozo (kerabat dalam hubungan perkawinan dan masyarakat pada umumnya). Jalannya upacara adalah sebagai berikut. Sebelum acara sa ngaza dimulai, semua penghuni kampung mempersiapkan diri dan berpakian adat lengkap untuk memulai ja’i dan para pemukul gong gendang (laba go) sudah berada di depan rumah (mori lengi) baru sa ngaza dimulai. Sa ngaza yang dilakukan oleh mori lengi berbunyi:

O jao ebu maku, ebu da keda gha sai wena, wi bhe riwu meze, wi mai teda tere. O ja’o nusi bhuli, ine da saji gha sai dhiri, wi wiu masa riwu, wi mai kali padhi.ka’e dele ana wae ebu peka gha ne’e teda lewa dia nua....azi dele meku mai ine da ngodho gha sai wolo dia ulu nua da....soga sama tau laba.

Artinya: para leluhur yang mulia dan angung, ebu (para pendahulu kita) telah turun samapi ke ujung, untuk memanggil dan merangkul semua orang untuk duduk dan tinggal bersama. Para leluhur yang baik, ibu telah melahirkan dan merintis sampai ke pinggir, untuk meluruskan semua orang, berdiri bersama sebagai saudara dan satu keluarga besar. Kakak adik (nenek moyang) yang berlemah lembut, yang telah membangun rumah panjang, di kampung (sebut nama kampung), yang telah sampai kesempurnaan karena mampu mencapai puncak gunung. (Petrus Sola Dopo, 2016: 42-43)

Inti dari sa ngaza ini mau mengungkapkan perjuangan atau jasa-jasa bapak dan ibu (para leluhur) yang telah berjuang mendirikan kampung dan merangkul orang-orang untuk tinggal bersama sebagai satu keluarga dan yang telah mewariskan nilai-niali kehidupan kepada keturunannya. Setelah sa ngaza dilanjutkan dengan tarian ja’i bersama mengelilingi watu lengi, ngadhu bhaga, peo, mengelilingi pelataran rumah-rumah yang ada di kampung itu. Ja’i sebagai ungkapan ekspresi sukacita, kegembiraan dan rasa syukur yang dilakukan sepanjang hari. Mori lengi (tuan kampung) bersama one nua (penghuni kampung) yang mempunyai hajatan menjadi penari ja’i pembuka. Seorang perempuan dari keturunan orang yang moridhoro bo toka boa, memakai bela sisi kera (anting-anting emas) dan laki-laki memakai wuli (perhiasan leher yang terbuat dari kerang), loda (emas), sau (parang adat), bhuja (tombak dengan kekuatan magis), tugu-tugunua (bendera kampung), gili (perisai yang terbuat dari kulit kerbau) dan para perempuan dan laki-laki yang di tuankan dari masing-masing klan juga memakai barang-barang pusaka seperti bela dan loda dalam tarian ja’i dilakuakn dengan rumpun keluarga yang datang ikut merasakan sukacita dengan ja’i mulai dari pintu masuk pelataran kampung, di awali dengan sa ngaza, sa ngaza yang dilakukan oleh wai laki tara dhaga lobo tozo.(Petrus Sola Dopo, 2016: 42-45)

Ja’i dilakukan dari pagi sampai sore hari. Tarian ja’i ditutup dengan upacara “koge kaba” yaitu perarakan hewan kurban (kerbau) dari luar kampung masuk menuju kampung, dan kerbau-kerbau itu diikat tiang korban yaitu ngadhu dari masing-masing woe atau klan, dan dilanjutkan pada malam harinya acara mau tua yaitu tahap memohon tanda dan saran ilahi dalam rangka penentuan orang-orang yang berperan pada esok harinya yaitu untuk proses penyembelihan hewan-hewan yang disumbangkan untuk hajatan bagi mori lengi (tuan kampung) dan one nua (penghuni kampung) yang melakukan syukuran Ka Nua(atau pesta-pesta lain dalam budaya orang Ngada). Orang-orang yang ditunjuk untuk menyembeli hewan korban (kerbau) harus berasal dari dua lapisan masyarakat atau golongan bangsawan yaitu Gae dan Kisa.(Petrus Sola Dopo, 2016: 46)

Indahnya persahabatan terletak di sini. Ketika aku bersahabat, aku mengarahkan diriku kepada sahabatku. Aku tidak lagi berhenti lega dalam diriku sendiri. Kepenuhanku ada di dalam kebersamaanku dengan sahabatku. Aku merindukannya. Aku ingin memeluknya. Aku ingin bersatu dengannya. (Armada Riyanto, Menjadi Mencintai, 2013: 116). Nilai filosofis yang ditunjukan dalam tarian Ja’i adalah kebersamaan dalam komunitas kebudayaan orang Ngada

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Dopo Petrus Sola, 2016. Nilai Budaya Ka Nua Dalam Kehidupan Orang Ngada(Skripsi). Malang: STFT Widya Sasana

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-Hari, Yogyakarta: Kanisius.


    Lihat Juga

    Mosa keso uli ana koda:Bahasa Flores-Ngada –gaya kepemimpinan tradisi Ngada  Ka Nua-Bahasa Ngada- Pesta Kampung Baru (Kampung Adat)  “Go Pado Tau Maki Go Muzi Kita Ata” Bahasa: Flores-Ngada: Pengembangan Sosial Ekonomi Tradisi Ngada 

    Oleh :
    Eduardus Madha ()