Ka Nua-Bahasa Ngada- Pesta Kampung Baru (Kampung Adat)
Ka Nua adalah suatu perayaan terbesar yang terjadi satu kali saja disebuah kampung. Ka Nua adalah suatu perayaan syukuran atas terbentuknya suatu kampung baru dan melibatkan banyak orang dan dilakukan dengan sangat meriah dengan persembahan hewan kurban (babi dan kerbau yang sangat banyak). Perayaan ini mengungkapkan makna historis dan nilai-nilai kehidupan yang sangat penting bagi kepentingan banyak orang terutama masyarakat Ngada sendiri. Perayaan ini sudah mulai punah tetapi dibeberapa daerah di kabupaten Ngada masih mempertahankan ritus Ka Nua ini.
Ka Nua (ka: makan, nua: kampung adat) adalah sebuah acara puncak dari sebuah proses pindah kampung adat (dhoro bo toka boa). Ka berarti makan, bukanlah sebuah pesta makan minum, bukan hanya acara makan bersama seperti kegiatan rutin keseharian atau sebuah pesta pada umumnya, tetapi sebuah upacara sakral, yang mengesahkan tempat bermukim bagi sekelompok masyarakat yang berpuncak pada acara persembahan dengan penyembelihan hewan kurban. Penghuni tempat bermukim baru itu bernama mori nua/mori lengi/mori dhoro/ bo toka boa (tuan kampung) melakukan upacara akhir yang diwariskan leluhur yaitu Ka Nua.
Kampung yang terdiri dari rumah-rumah adat (sa’o) yang memiliki pemilik kampung (mori dhoro botoka boa) dan keluarga besar atau woe atau klan yang memiliki perangkat dan ornamen adat yaitu ngadhu-bhaga, peo, watu lanu dan ture dan selanjutnya yang telah menjalani upacara terakhir yang purifikasi dengan memotong beberapa ekor kerbau dan puluhan, malahan ratusan ekor babi bukanlah (Pertus Sola Dopo, 2016,31). Sebuah kampung saja tetapi harus disebut kampung adat (nua). Demikian pula dengan rumah yang ada di nua itu. Dia bukanlah rumah biasa, tetapi rumah adat (sa’o).
Kampung yang sudah diresmikan lewat Ka Nuadisebut kampung yang sempurna. Dalam tradisi adat Bajawa digambarkan sebagai sadho inerie leba suri laki. Atrinya, kesempurnaan sudah dicapai karan mampu menggapai puncak Gunung Inerie, gunung tertinggi di Bajawa.
Arti simbolis; Ka Nuaadalah upacara ritual dan perayaan syukuran akbar orang Ngada. Syukuran akbar ini harus dilihat dan ditafsirkan secara batiniah daripada secara lahiria, meskipun yang tampak di mata umum adalah pertemuan keluarga dan kampung, dalam bentuk upacara ritual adat, persembahan hewan kurban, perayaan pesta, tarian dan makan bersama.
Ritus upacara ini mengikat seluruh anggotanya untuk hadir dan ikut ambil bagian dalam keseluruhan pesta tersebut, karena dalam perayaan tersebut selalu dikisahkan sejarah nenek moyang, proses pendidikan dan pembelajaran yang berisi nasihat dan petuah demi hidup dan kehidupan yang lebih baik dan harmonis.(Petrus Sola Dopo, 2016: 32).
Perayaan Ka Nuamengandung tujuan yang aktual untuk kehidupan orang Ngadha. Ka Nualebih dari sekedar sebuah tradisi seremonial yang berhenti pada maksud kenangan atau peringatan. Selalu ada tujuan yang mau diusahakan oleh orang Ngadha mealuli perayaan Ka Nuaini. Tujuan ini tidak lain menyangkut nilai-nilai mendasar dalam tata hidup bersama. Disisi lain bisa memperoleh banyak hal demi perkembangan kepribadian dan kebersamaan baik dalam hal rohani maupun jasmani. Jadi pesta ka nua bertujuan untuk menggalang persatuan keluarga dengan sesama dan alam semesta serta persatuan dengan wujud tertinggi. Oleh sebab itu upacara ini merupakan ungkapan syukur kepada Wujud Tertinggi lewat para leluhur yang telah mewarisi budaya tersebut.
Pelaksanaan upacara ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur dan juga merupakan penghormatan kepada pemimpin kampung yang telah berinisiatif untuk mendirkan kampung (mori dhoro bo toka boa). Disisi lain mau menunjukan kejayaan kampung dan kejayaan woe atau klan.
Setelah menyelesaikan pembangunan watu lengi diadakan uapacara atau ritual yang disebut “dewu kabu keri” yaitu memotong alang-alang atau menginjak rumput-rumput yang masih ada, untuk menandakan bahwa rumah adat telah diresmikan dan pembersihan nua dan para penghuninya dari noda dosa dan penyakit. Penyelesaian biasanya dilakukan ditengah kampung (kisa nua). Persoalan yang diangakat umumnya berhubungan dengan konflik antara klan, konflik antara sa’o dalam suatu klan dan perkara-perkara umum lainnya. Momen ini menjadi momen pembersihan batin agar tidak terjadi dendam yang berkepanjangan. Jadi ritual dewukabu keri menjadi momen untuk merefleksikan diri, memperbaiki diri dan menyatakan maaf satu dengan yang lain. Dasar dari penyelesaian sengketa atau konflik ini adalah ungkapan modhe ne’e soga woe, meku ne’e doa delu kae dele ana wae, azi dele meku mai (berbaik-baik lah dengan sahabat, kakak adik atau teman dan berlemah lembutlah dengan sesama).
Sobhe boko adalah ritual yang dilakukan oleh mori lengi bersama one nua, untuk menandakan bahwa watu lengi sudah didirikan dan sudah diresmikan. Inti upacara ini adalah perundingan dan penetuan waktu pelaksanan Ka Nua. Mori lengi mengundang para mosalaki dari masing-masing woe atau klan untuk berunding mengenai kegiatan menggelar pesta Ka Nuasesuai dengan tradisi yang diwariskan leluhur. Perundingan ini dilaksanakan pada sa’o mori lengi (rumah adat tuan kampung). Mori lengi bersama Mosalaki( ketua adat ) melakukan pemujaan kepada leluhur dan yang Mahakuasa sebagai wujud aktual dari relasi Ilahi dan insani. Praktis pemujaan dilakukan dengan penyembelihan hewan kurban (ayam atau babi). (Petrus Sola Dopo, 2016: 37)
Ada tiga perayaan inti dalam keseluruhan pesta ka nua yaitu leu leku, kai usu dan goro tai kaba. Leuleku (leu; tutup, leku; pintu) adalah penutupan jalan masuk kampung yang dilaksanakan oleh mori lengi (tuan kampung). Jalannya upacara tersebut adalah sebagai berikut; membuat tibo di sao pu’u mori lengi untuk mencari atau menentukan orang untuk membuka dan menutup pintu masuk kampung. Mempersiapkan karo (duri hutan), ua (hutan) maki po’o, diletakan di sa’o mori lengi yang adalah rumah tempat diskusi sebelum keputusan-keputusan penting disosialisasikan dan juga sebagai tempat yang menunjukan dimulainya upacara Ka Nuaitu sendiri. (Petrus Sola Dopo, 2016: 39-40)
Kai usu berarti membuka kunci atau buka pintu jalan masuk ke kampung yang dilaksanakan oleh mori lengi bersama dengan orang-orang yang telah ditunjuk melalui tibo, diiringi oleh gong gendang (labago). Ini merupakan tahapan inti dalam pengukuhan nua(kampung). Perayaan pengukuhan nua (kampung) dilakukan di pelataran kampung selama tiga hari penuh sesuai dengan penentuan tanggal yang telah disepakati bersama dan direstui oleh yang Mahakuasa. (Petrus Sola Dopo, 2016: 41)
Goro tai kaba, rangkaian perayaan ka nua ditutup denganpembersihan yaitu goro tai kaba yang ditandai dengan: pertama, para penghuni kampung kembali membersihkan pelataran kampung. Kedua, po pene lese dhe pedhe pawe (pesan) yang disampaikan oleh mori lengi dan beberapa Mosalaki(ketua adat)yang dipercayai tahap ini juga sebagai proses pendidikan dan pembelajaran yang berisi nasihat dan petuah demi hidup dan kehidupan yang lebih baik dan harmonis. (Petrus Sola Dopo, 2016: 52)
Aristoteles mengajar dengan sangat baik, bahwa Bahagia itu bukan pertama-tama keadaan fisik atau status jiwa. Bahagia merupakan aktifitas manusiawi. Logika kecil menandai kebenaran yang sehari-hari,bahwa kodrat manusia adalah beraktifitas. Kengangguran sebaliknya identik dengan ketidakbahagiaan atau kondisi tidak manusiawi. Aristoteles tidak sedang menunjukan secara persis disposisi bahagia, sebab bahagia bukan disposisi. Dia sedang mengajar bahwa bahagia adalah identik dengan aktifitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. (Armada Riyanto. Menjadi Mencintai, 2013: 56)
Bibliografi
Dopo Petrus Sola, 2016. Nilai Budaya Ka Nua Dalam Kehidupan Orang Ngada(Skripsi). Malang: STFT Widya Sasana
Riyanto, Armada, 2013. Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-Hari, Yogyakarta: Kanisius.
Suwando Bambang, 1998. Adat Isti Adat Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Pusat Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Lihat Juga
Eduardus Madha ()