Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Mantu Kucing (Bahasa Osing, Banyuwangi, Jawa Timur:hal “meminta hujan”)


Masyarakat Osing di Dusun Curahjati, Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo yang terletak sekitar 45 km dari pusat Kabupaten Banyuwangi memiliki sebuah tradisi bernama Mantu Kucing. Tradisi ini dilakukan pada saat musim kemarau dengan tujuan meminta hujan. Masyarakat setempat melaksanakan Mantu Kucing yang berupa upacara pernikahan untuk dua ekor kucing layaknya upacara pernikahan manusia (Bdk. Ayu Sutarto, 2010:24) .

Tradisi ini dimulai sekitar tahun 1930-an. Saat itu Dusun Curahjati dilanda musim kemarau berkepanjangan. Para penduduk telah melakukan ibadah Salat Istisqa dan Tiban namun hujan tetap tidak turun. Akhirnya, Mbah Wono Samudro selaku kepala kampung pada masa itu didatangi oleh Mbah Umbulsari (ada yang menyebut Mbah Kopek) yang dipercaya masyarakat sebagai roh penunggu mata air di desa tersebut. Ada dua versi cerita yang menyebutkan bahwa Mbah Umbulsari menemui Mbah Wono Samudro dalam kenyataan atau lewat mimpi. Dalam pertemuan tersebut Mbah Umbulsari berpesan agar para warga desa melaksanakan tradisi Mantu Kucing (Moh. Syaiful dkk, 2014:66).

Akhirnya tradisi ini dilaksanakan setiap tahun. Ada anggapan bahwa kucing memiliki hubungan erat dengan hujan, hingga dengan memandikan kucing akan menyebabkan hujan turun. Kucing sebagai hewan yang membenci air adalah perlambang dari kemarau yang tidak segera selesai. Masyarakat mempercayai bahwa kemarau akan segera berakhir bila manusia mengadakan upacara Mantu Kucing demi memohon agar hujan segera turun.

Pelaksanaan tradisi ini dilakukan pada hari Jumat bulan November. Mantu Kucing dimulai pukul 09.00 diawali dengan berkumpul di rumah sesepuh dusun.

Peserta tradisi Mantu Kucing adalah warga dari 10 wilayah di kawasan Grajagan. Mereka akan bersama-sama melakukan tradisi besar ini. Mereka bahu membahu dalam menyiapkan perlengkapan untuk selamatan dan juga kucing liar. Kucing yang digunakan tidak memiliki syarat tertentu, tapi kucing harus di dapatkan dari kawasan utara dan kawasan selatan. Tidak boleh sama-sama dari utara atau pun sebaliknya.

Setelah kucing ditemukan, keduanya akan digendong untuk mengelilingi kampung. Kadangkala, kucing dimasukkan ke dalam kurungan yang telah dihias. Di belakang iring-iringan kucing, terdapat para penari jaranan yang bertindak sebagai hiburan pernikahan.

Dua orang pria yang dianggap sebagai orang tua akan membawa kucing itu sampai ke kawasan sumber air Umbul Sari sebelum akhirnya tradisi dimulai oleh sesepuh desa.

Puncak tradisi dilakukan di bawah sebuah pohon di dekat mata air yang bersebelahan dengan sungai yang menjadi pembatas lahan hutan dengan area persawahan warga. Disana, sesepuh desa bersemedi kemudian dua kucing tadi dibawa ke tepi mata air dan diusap kepalanya sebagai simbol pernikahan. Selanjutnya kucing akan mulai diceburkan ke dalam air sumber secara bersamaan. Setelah kucing basah, keduanya akan dilepas untuk menandakan tradisi selanjutnya akan berlanjut. Air sumber yang sudah dimasuki kucing tadi akan disiramkan ke sekitar dan warga. Biasanya warga mulai berebut air yang dipercaya dapat membawa berkah. Acara ditutup dengan selamatan tumpeng yang telah digelar di sekitar mata air.

Sekilas tradisi Mantu Kucing terlihat aneh dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dua hewan liar justru dikawinkan untuk meminta hujan. Namun, setelah dilihat dari dekat, tradisi ini cukup memiliki banyak nilai berharga terutama untuk bersyukur dan juga gotong-royong antar warga untuk mendapatkan kebaikan bersama-sama (A. Cholid Baya dkk, 2011:24).

Mantu Kucing mengajarkan semua orang untuk bahu-membahu dalam menciptakan suatu hal. Selanjutnya tradisi ini juga merupakan wujud permohonan yang dilakukan manusia kepada sang pencipta untuk mengharapkan hujan sebagai anugerah bagi manusia dan alam.

Hujan menjadi sesuatu yang didambakan dalam masyarakat agraris, bahkan menjadi faktor yang sangat menentukan perekonomian dan kehidupan. Cuaca yang tidak menentu seringkali merugikan petani yang berupaya menggarap tanah dan bercocok tanam. Padahal mayoritas masyarakat daerah Dusun Curahjati bermatapencaharian sebagai petani. Kemarau panjang yang berlangsung di wilayah Dusun Curahjati menjadi penderitaan tersendiri. Tak heran dalam konteks lokal daerah Curahjati muncul tradisi Mantu Kucing sebagai tradisi mengharapkan hujan segera turun.

Filosof awal pada masa Yunani bernama Empedokles pernah mengatakan bahwa perubahan-perubahan dalam alam semesta diatur oleh keberadaan dua prinsip yang saling berlawan satu dengan yang lain. Prinsip itu disebut “Cinta” (Philotes) dan “Benci (Neikos). Empedokles melukiskan kedua prinsip itu sebagai semacam cairan halus yang meresapi semua benda lain. Hal ini menggambarkan bahwa Empedokles sendiri tidak berhasil membayangkan sesuatu yang sifatnya tak jasmani (bdk. K. Bertens, 1999: 68).

Empedokles berbekal dengan dua prinsip itu untuk menggolongkan kejadian-kejadian alam semesta dalam empat zaman. Cinta dan Benci berturut-turut memainkan peranan penting. Keempat zaman ini berlangsung terus menerus, sehingga sesudah zaman keempat selesai dengan segera dimulailah zaman pertama kembali. Perpindahan zaman terjadi secara siklus yang berulang.

Sebagai seorang filosof awali, Empedokles juga memiliki argumen tentang 4 akar (rizomata) sebagai penyusun dari realitas. Empedokles mengurainya dalam 4 akar yang melambangkan sifatnya masing-masing: Api (melambangkan panas), Udara (melambangkan dingin), Tanah (melambangkan kering), dan Air (melambangkan basah). Teori Empedokles ini bertahan cukup lama karena diambil alih Plato, Aristoteles, dan bahkan diterima umum sampai pada Abad Pertengahan.

Gagasan kosmologis Empedokles bisa berbunyi secara lantang bila dihubungkan dengan Tradisi Mantu Kucing. Empedokles menyebutkan ada masa ketika zaman ketiga berlangsung dimana keempat akar saling tercerai berai, Benci mendominasi segala-galanya. Tanah dalam pusat dan api pada permukaan. Hal ini bisa menjadi perlambang keberadaan kemarau berkepanjangan dimana tanah (melambangkan kering) dan api (melambangkan panas) hadir dalam pusat dan permukaan kosmos. Keberadaan kemarau yang berkepanjangan tentu saja menjadi derita yang berat bagi para petani.

Namun upaya melaksanakan Tradisi Mantu Kucing nampaknya adalah usaha menghadirkan zaman keempat dimana Cinta pada gilirannya memasuki kosmos. Bila cinta menjadi dominan terjadilah harmoni semua akar. Kosmos berlangsung dalam keharmonisan. Tradisi Mantu Kucing menjadi perlambang kehadiran “Cinta” sebagai yang mempersatukan dan memperdamaikan semuanya. Keberadaan warga Dusun Curahjati yang bersama-sama melaksanakan tradisi dengan bergotong-royong menampakkan situasi kerukunan satu dengan yang lainnya. Cinta dalam kosmos ternyata dapat diwujudkan dalam ranah fisik-sosial kemasyarakatan. Cinta meresapi jiwa seseorang untuk berani berkorban bagi yang lain demi kosmos tempatnya berpijak.

Kesadaran dan kepedulian pada kosmos harus didasari dengan cinta kepadanya. Terjadinya anomali iklim yang muncul dekade ini adalah sebuah “tanda-tanda zaman” dimana manusia mulai kehilangan cintanya kepada kosmos. Etika menjadi begitu terpusat pada manusia sendiri, pada dirinya, pada sesamanya. Manusia melupakan bahwa cinta kepada lingkungan adalah faktor penting dalam kehidupan. Cinta kepada lingkungan membuahkan ketentraman dan kemakmuran, harmoni yang hadir dalam kehidupan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Baya, A. Choliq dkk. 2011. Pelangi Budaya Banyuwangi: The Art of Banyuwangi City. Yogyakarta: JP Books.

    Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Prof. Dr. Ayu Sutarto, M.A. 2010. Kamus Budaya Using. Jember: Lembaga Penelitian Universitas Jember.

    Bertens, K. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

    Syaiful, Moh. dkk. 2014. Jagat Osing: Seni, Tradisi, dan Kearifan Lokal Osing. Banyuwangi: Lembaga Masyarakat Adat Osing.


    Lihat Juga

    Seblang (Bahasa Osing, Banyuwangi, Jawa Timur:hal “menolak bencana”)  Tumpeng Sewu (Bahasa Osing, Banyuwangi, Jawa Timur:hal “makan bersama”)  Petik Laut (Bahasa Osing, Banyuwangi, Jawa Timur:hal “mensyukuri hasil laut”) 

    Oleh :
    Doroteus Bryan ()