Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Tumpeng Sewu (Bahasa Osing, Banyuwangi, Jawa Timur:hal “makan bersama”)


Masyarakat Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah yang terletak sekitar 8 km dari pusat Kabupaten Banyuwangi memiliki sebuah tradisi yang bernama Tumpeng Sewu. Tumpeng Sewu merupakan tradisi adat terbesar di Kemiren setelah (Barong) Ider Bumi. Tradisi ini melibatkan seluruh penduduk karena merupakan upacara bersih desa yang diadakan setiap tahun pada tanggal 1 bulan Dzulhijjah (Moh. Syaiful, 2014:116).

Sebagaimana upacara bersih desa yang lain, tradisi ini dimaksudkan sebagai penolak bala atau marabahaya dengan cara memanjatkan doa bersama memohon keselamatan untuk setahun ke depan. Tradisi ini dikenal dengan Tumpeng Sewu karena jumlah hidangan yang berupa tumpeng sangat banyak. Tumpeng adalah salah satu hidangan wajib yang disiapkan pada puncak acara. Dalam tradisi ini, Tumpeng dibuat oleh setiap keluarga, satu keluarga minimal membuat satu tumpeng. ‘Sewu’ atau seribu merupakan kata bilangan yang sering dipakai dalam merujuk hitungan yang sangat banyak dalam kultur Jawa maupun Osing. Meski dalam hitungan sebenarnya tidak mencapai jumlah tersebut. ‘Sewu’ digunakan sebagai perlambang hal yang sangat banyak.

Tumpeng Sewu selalu dipersiapkan oleh seluruh warga Kemiren karena merupakan ritus komunal upacara bersih desa. Namun demikian, yang paling sibuk pada acara tersebut adalah keluarga Barong, yaitu keluarga Mbah Sapi’i dan adiknya, Mbah Saki, yang merupakan keturunan langsung dari Mbah Sapuah dan Mbah Tampa (sesepuh Barong Kemiren). Di Kemiren terdapat 3 kelompok Barong, yaitu Barong Tuwek yang diketuai oleh Mbah Sapi’i, Barong Lancing yang diketuai oleh Pak Ucip, dan Barong Cilik yang diketuai oleh Pak Saperi. Sebutan Keluarga Barong ini diberikan kepada mereka yang mewarisi dan melestarikan kesenian Barong di Kemiren. (Rahayu dkk, 2008:23)

Warga berbondong-bondong menyumbangkan materi (turut weton) atau memberikan bantuan tenaga. Pada pukul 6 pagi para lelaki membantu mengupas buah kelapa lalu pulang, sementara itu kaum ibu mulai berdatangan pada pukul 7 pagi untuk membantu memasak. Akan tetapi, tetap saja keluarga Barong yang mempunyai hajat besar. Apabila warga hanya mempersiapkan tumpeng yang itupun bisa dimulai pada hari pelaksanaan setelah dzuhur, maka keluarga Barong harus memulai aktivitas sejak satu hari sebelumnya karena banyaknya kelengkapan upacara yang harus disiapkan, utamanya berkaitan dengan sesaji. Sesaji, yang berupa makanan atau bukan, merupakan salah satu persyaratan pokok upacara tradisi yang keberadaannya tidak boleh dilewatkan karena masyarakat percaya bahwa kekuranglengkapan sesaji baik dalam jumlah maupun jenisnya akan berakibat buruk. Di Kemiren, misalnya, sesaji yang tidak lengkap akan membuat Buyut Cili, Sang Danyang Desa, murka.

Pada hari pelaksanaan, tenda dipasang di depan rumah barong dan gamelan ditabuh mengalunkan gending (lagu) Kebo Giro. Gending kebo giro terus dimainkan dari pagi sejak didirikannya tenda hingga saat diselenggarakannya arak-arakan (pawai) barong pada sore hari. Pada jam 13.00 WIB keluarga barong nyekar-selametan ke makam Buyut Cili untuk meminta ijin berkeliling desa. Selanjutnya keluarga barong pulang untuk bersiap-siap melakukan parade barong pada sekitar pukul 16.00 WIB di sepanjang jalan utama kampung (dari batas desa sebelah timur ke batas desa sebelah barat dan kembali lagi ke timur ke rumah barong). Selamatan kembali diadakan di rumah barong. Selanjutnya warga mempersiapkan tumpeng pecel pithik di tepi kanan kiri jalan utama kampung. Setelah maghrib diadakan doa bersama yang dipimpin oleh modin desa dari dalam masjid dan diikuti oleh seluruh warga kampung. Acara ditutup dengan memakan bersama hidangan tradisi yang telah disiapkan sebagai puncak acara.

Dalam konteks upacara Tumpeng Sewu, terdapat serangkaian hidangan yang masing-masing harus disesuaikan dengan tempat dan waktu pelaksanaannya, yaitu pada siang hari (hidangan tradisi untuk upacara di Sukosari, makam Buyut Cili pada pukul 2 siang. Pada sore hari ada hidangan tradisi untuk rangkaian acara arak-arakan barong. Tumpeng Sewu berpuncak pada malam hari dimana Makanan untuk selametan pada malam harinya (acara puncak tradisi Tumpeng Sewu).

Dari seluruh ragam hidangan tradisi yang telah disebutkan, tidak ada satu pun yang akan dibiarkan tanpa dimakan. Segera setelah tradisi dilaksanakan, makanan yang ada akan dimakan secara bersama-sama dan dengan sukacita karena masyarakat meyakini makanan yang dihidangkan sudah didoakan secara bersama-sama itu mengandung keberkahan. Semuanya dimakan dengan tangan, tanpa sendok, karena memang tidak pernah disediakan sendok. Semua orang duduk di lantai, atau di tanah, memakan hidangan yang sama, bersama-sama sehingga wujud kerukunan dalam komunitas masyarakat Desa Kemiren tampak secara jelas. Berbagi makanan (food sharing) dalam ini tidak hanya memiliki dimensi tradisi namun juga sangat besar nilainya dalam menjaga keutuhan komunitas. Moh. Syaiful (2014:119) dalam penjelasannya mengutip pendapat Anderson sebagai berikut:

Food is almost always an element of demarcation. Those who share a faith eat together at ritual meals. They sometimes go beyond this and define their conggregation on this basis of shared rules. Everyone must eat certain foods, often in certain ways; everyone must avoid certain other foods. The group that pray together, stays together - especially if its members share religious feasts.”

Hidangan yang disiapkan untuk acara puncak pada tradisi tumpeng sewu akan disantap bersama-sama oleh siapa pun yang hadir atau lewat, termasuk masyarakat yang berasal dari luar desa kemiren. Masyarakat luar Desa Kemiren banyak yang datang dan terlibat bahkan sengaja memesan tumpeng pada warga. Inklusifitas masyarakat Kemiren ini sangat jelas menggambarkan betapa mereka sangat toleran terhadap orang asing. Semua terlibat, tidak sekadar menjadi penonton.

Seorang filosof bernama Emmanuel Levinas hadir dengan gagasan yang sangat menarik tentang etika. Baginya, etika pertama-tama bukan menyangkut teori megenai baik-buruknya tindakan tertentu; bukan juga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai manusia. Bagi Levinas, Etika merupakan relasi yang lahir dari pertemuan konkret dengan orang lain yang memiliki wajah. Sebagai jejak Yang-Tak-Terbatas (The Infinite), wajah orang lain tidak akan dapat dibunuh atau dihancurkan (bdk. Thomas Hidya, 2012:10) .

Keterbukaan masyarakat dalam tradisi Tumpeng Sewu merupakan narasi etika komunitarian altruistik dimana semua orang yang datang adalah anggota. Tidak ada yang hanya menjadi penonton. Semua yang hadir duduk dan makan bersama dengan sikap hormat antara yang satu dengan yang lainnya. Emmanuel Levinas juga menegaskan bahwa kehadiran “yang lain” dalam pengalaman relasionalitas “aku”, menuntut “aku” untuk bersikap penuh tanggung jawab (Bertens, 2013: 282).

Hal ini menunjukkan bahwa nilai dan etika yang ada dalam kehadiran kita di dunia merupakan produk dari perjumpaan “aku” dengan “yang lain”. Nilai dan moral yang dihasilkan tersebut tidak terbatas hanya pada sikap kepedulian, tetapi juga meliputi cinta dan persaudaraan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Bertens, K. 2013. Sejarah Filsafat Kontemporer Prancis, Jilid II. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

    Rahayu, Eko Wahyuni dan Totok Hariyanto. 2008. Barong Using: Aset Wisata Budaya Banyuwangi. Banyuwangi: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

    Syaiful, Moh. dkk. 2014. Jagat Osing: Seni, Tradisi, dan Kearifan Lokal Osing. Banyuwangi: Lembaga Masyarakat Adat Osing.

    Tjaya, Thomas Hidya. 2012. Enigma Wajah Orang Lain: Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


    Lihat Juga

    Seblang (Bahasa Osing, Banyuwangi, Jawa Timur:hal “menolak bencana”)  Mantu Kucing (Bahasa Osing, Banyuwangi, Jawa Timur:hal “meminta hujan”)  Petik Laut (Bahasa Osing, Banyuwangi, Jawa Timur:hal “mensyukuri hasil laut”) 

    Oleh :
    Doroteus Bryan ()