Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Klangkang (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Ritual memberi makan alam)


Di sebuah perkampungan di pedalaman Kalimantan Utara. Terdapat sebuah desa kecil yang bernama Desa Mara I, yang berada di wilayah Kabupaten Bulungan, Kecamatan Tanjung Palas Barat. Desa ini terletak sekitar 40 Km dari Kota Tanjung Selor. Di desa ini ada sebuah ritual yang sudah lama dihidupi oleh masyarakat Dayak, khususnya masyarakat Dayak Kayan Mapan. Ritual itu biasa disebut Klangkang, ritual ini bertujuan untuk memberi makan kepada alam semesta. Apa yang dimaksudkan dengan memberi makan alam semesta? Maksudnya ialah di mana pada saat menjelang pesta panen (gawai ), ada acara atau ritual semacam ini. Tujuannya ialah untuk berterimakasih atas kekayaan alam yang diberikan dalam bentuk hasil panen dan kelancaran dalam mempersiapkan pembukaan ladang hingga pada musim panen tiba.

Hal pertama yang harus disiapkan ialah; memotong dan membelah bambu dan kemudian menghaluskannya. Bambu tersebut dianyam dan kemudian dibentuk seperti keranjang berbentuk segi empat. Di setiap sudut diberi pengikat dari rotan yang juga dihaluskan sebelumnya. Klangkang ini berbentuk segi empat yang terbuat dari anyaman bambu, yang diberi tali pengikat dari rotan. Di setiap sudutnya diberikan kain berwarna merah, hitam, putih dan kuning.

Di atas anyaman bambu ini, diletakkan makanan seperti telur ayam, nasi kuning, nasi hitam dan nasi putih (Bdk.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984:75). Ritual ini diikuti oleh seluruh masyarakat yang hadir saat itu. Ritual ini dipimpin oleh seorang kepala suku atau ketua adat. Makanan-makanan yang diletakkan di atas anyaman bambu ini, memiliki makna tertentu. Nasi kuning melambangkan roh penjaga tanah yang diartikan oleh masyarakat dayak sebagai penjaga kesburuan tanah. Nasi merah melambangkan roh api yang memberikan rasa panas dan kehangatan yang dikaitkan dengan cahaya matahari. Nasi putih melambangkan roh air dan udara yang memberi kesuburan atas benih yang ditanam. Nasi yang sudah diletakkan di atas anyaman bambu tidak boleh dimakan oleh siapa pun. Nasi tersebut menurut kepercayaan ketua adat sudah menjadi bagian dari roh-roh penjaga alam semesta itu.

Prosesi Klangkang memiliki beberapa ritus. Pertama, setiap yang mengikuti ritual ini mendapatkan nasi yang telah diletakkan di atas anyaman bambu. Nasi tersebut harus dimakan habis oleh mereka yang diberikan. Setelah selesai maka ritus yang kedua dimulai yaitu membawa Klangkang ini ke sebuah pohon besar. Pohon besar yang dipercayai oleh masyarakat dayak adalah tempat berdiamnya roh-roh penjaga alam (Bdk. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 97). Ketua adat meletakkan Klangkang di dekat pohon ini dan kemudian membacakan mantra yang mengarahkan masyarakat untuk menghormati ritual ini.

Telur yang diletakkan di bagian tengah anyaman juga mempunyai makna. Telur melambangkan bumi yang bulat, apa bila tidak dijaga atau diletakkan dengan baik maka akan hancur. Hal ini menggambarkan bumi yang tidak dijaga akan hancur dan membawa malapetaka bagi setiap manusia. Sebagaimana diserukan baru-baru ini oleh Paus Fransiskus I, tentang memelihara lingkungan. Jelas bahwa sikap menjaga dan melestarikan alam juga dihidupi oleh masyarakat dayak pada umumnya.

Masyarakat Dayak Kayan Mapan mengakui adanya roh-roh yang menjaga alam semesta ini. Mereka juga mempercayai alam semesta diciptakan oleh roh-roh tersebut dan senantiasa memberikan kesejahteraan kepada manusia. Alam semesta yang diberikan ini harus dijaga kelestariannya, dan masyarakat suku Dayak Kayan Mapan sudah menumbuhkan sikap menjaga dan melindungi alam semesta itu. Sikap yang demikian diberikan atau diturunkan kepada anak dan cucu mereka salah satu contoh yang jelas dapat dilihat dalam ritual Klangkang ini.

Ada ketentuan untuk menjaga hutan adat yang sudah dihidupi oleh masyarakat dayak. Hal inipun juga dihidupi dalam masyarakat Dayak Kayan Mapan. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa :Dalam harmoni dengan alam dan sesama manusia yang ditemukan kembali ini, manusia sekali lagi berjalan di taman ciptaan, berusaha membuat harta benda bumi tersedia bagi semua dan tidak hanya untuk beberapa orang dengan hak istimewa (Seri Dokumen Gerejawi No.92, dalam Lingkungan Hidup. 2014: 82). Demikian pula dengan masyarakat Suku Dayak Mapan yang melihat bahwa ada hubungan relasi antara alam dan manusia. Mereka melihat harmoni ini adalah sebuah relasi yang harus tetap dijaga.

Ritual Klangkang yang mengajak masyarakat Suku Dayak Kayan Mapan ini menjaga dan menghidupi gerakan cinta lingkungan. Dalam kehidupan masyarakat dayak ada hutan adat yang harus dijaga. Salah satu tujuan dari ritual Klangkang ini ialah menjaga hutan adat ini. Perkembangan zaman membuat hutan adat ini perlahan-lahan tersentuh oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Maka ritual ini secara langsung melarang bahkan menegur apa bila ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab ingin merusak hutan ini.

Menurut kepercayaan mereka, apa bila ada yang tetap ingin merusak alam atau hutan yang dilindungi akan mengalami musibah atau bahkan bisa membawa kepada kematian. Hal semacam ini yang tidak diinginkan. Pada saat ini pun di Desa Mara I yang dihuni oleh masyarakat Dayak Kayan Mapan sangat percaya akan hal ini. Akan tetapi proyek atau perusahaan tetap ada yang masuk dan membuka perusahaan mereka dengan menggantikan lahan itu sebagai tempat penanamam sawit. Dengan adanya perusahaan sawit, tambang, sebagian masyarakat yang dulunya bertani menjadi pekerja buruh di tanah mereka sendiri (Bdk. Yustinus Harjosusanto dan Blasius Edy Wiyanto: 39).

Keadaan yang semacam ini bisa membahayakan kehidupan ekologi yang ada disekitarnya. Dan memberi dampak yang besar dalam perkembangan kehidupan di sekitarnya pula. Dengan adanya ritual ini yang masih dihidupi memberi kesadaran atau bisa menghambat kerusakan alam. Gereja universal juga menghimbau supaya ada kesadaran untuk bertobat secara ekologis. Pertobatan ekologis ini pula bisa sangat membantu supaya esensi dari alam itu itu tetap bisa terjaga dengan baik. Hal kecil yang bisa untuk menanamkan semangat pertobatan ekologis ini, ialah menumbuhkan semangat memelihara dan menjaga. Hal ini juga yang dilakukan masyrakat suku Dayak Kayan Mapan kepada anak-anak dan cucu mereka.

Ritual Klangkang yang bertujuan memberi makan kepada alam ini bukan hanya sebatas ritual belaka tetapi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat suku dayak lainnya. Ritual yang mengarahkan bukan kepada hal-hal yang berbau mistik akan tetapi kepada keharmonisan alam ciptaan yang diberikan Tuhan kepada setiap pribadi manusia. Bersama sehati sejiwa berjalan bersama dengan penuh cinta untuk menjaga alam ini, dan menjadikan alam sebagai sahabat yang harus dicintai dan dilindungi.

Masyarakat sangat mempercayai bahwa bumi adalah bagian dari “rumah” mereka. Rumah yang memberi kehidupan, rumah yang memberi kedamaian dan keindahan. Maka rumah itu menjadi milik bersama yang harus dijaga dan dicintai dengan penuh ketulusan dan tanggungjawab dalam diri setiap pribadi manusia dan liyan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1984. Upacara Tradisional, Upacara Kematian Daerah Kalimantan Timur, Jakarta.

    Harjosusanto, Yustinus dan Wiyanto, Edy Basilius (eds), 2011. Jejak Langkah Keuskupan Tanjung Selor, Gerak Membangung Gereja yang Hidup dan Mengakar, Yogyakarta: Kanisius.

    Departemen Dokumentasi Dan Penerangangan Konfrensi Wali Gereja Indonesia, 2014. Lingkungan Hidup, Jakarta.


    Lihat Juga

    Makei Hereu (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Upacara Perkawinan Adat)  Irau adat (Dayak Kayan Mapan Kaltara: Kebersamaan dalam pesta panen)  Miak (Dayak Kayan Mapan: Kebersamaan dalam acara selamatan tujuh atau sembilan hari orang yang sudah meninggal) 

    Oleh :
    Benidiktus Paulus ()