Peler (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Permohonan Maaf kepada Alam Ciptaan)
Kata Peler dalam Kamus Manggarai diartikan sebagai memberi persembahan di rawa kepada peri atau makhluk halus (Verheijen, SVD: 1967: 494). Dari arti ini gagasan pokok yang mewakili semuanya adalah soal permohonan maaf manusia kepada makhluk halus dalam bentuk persembahan. Permohonan maaf disampaikan karena manusia telah melukai mereka. Kata Peler dalam konteks ini menunjuk pada memberi persembahan kepada makhluk halus yang menghuni di suatu tempat, misalnya di kebun.
Peler dalam budaya orang Lamba Leda, Manggarai Timur merupakan sebuah ritus pengampunan kepada alam semesta, misalnya pohon, batu, dan makhluk yang hidup di alam. Peler dilakukan ketika seseorang menderita sakit karena dianggap telah merusak kenyamanan kehidupan makhluk halus di kebun. Orang Lamba Leda bermata pencaharian petani. Mereka selalu membuka lingko (ladang) baru setiap tahun (Bdk. Pandor, 2015: 91). Orang percaya bahwa kebun di mana mereka buka dihuni oleh makhluk lain, yang tidak dilihat, namun hidup. Kepercayaan itu melahirkan sebuah budaya peler. Peler berarti meminta maaf kepada makhluk penghuni kebun agar mereka tidak marah ketika mereka disingkirkan dari kebun itu.
Makhluk roh itu dilihat seperti manusia. Ketika ada manusia yang sakit, itu berarti ia telah melukai makhluk lain. Seperti halnya dalam relasi manusia ada permohonan maaf. Dalam relasi dengan makhluk roh juga ada kalanya manusia khilaf dan melanggar aturan. Ketika manusia membuka lahan baru artinya menyingkirkan penghuni lahan itu.
Penghargaan kepada makhluk roh merupakan praksis yang unik dalam budaya orang Lamba Leda. Saya menarasikan bagaimana ritus peler ini dilakukan di sebuah tempat di alam:
“Yo, ite ata kaeng be len. Ata tema ita le matar lami. Neka keta rabo latang sangget salah agu wintung dami ngasang manusia. Tegi dami ga, teing koe sehat latang ase kae hi…(nama orang yang sedang sakit). Damin ga hoy ruha agu tuang dami ata tegi maaf agu ite ngasang ata be len.”
(Untuk kalian yang menghuni di tempat ini. Kami minta maaf atas segala kelalaian kami sebagai manusia yang telah melukai hati kalian. Kami memohon, berilah rahmat kesehatan kepada…(nama orang yang sedang sakit). Kami membawa telur dan moke sebagai wujud permohonan maaf kami.)
Sebelum membuka lahan, orang meminta izin kepada mereka dengan menggunakan telur sebagai simbol dan didoakan oleh orang yang memiliki kemampuan menyampaikan peler itu. Kesadaran orang Lamba Leda, Manggarai Timur akan liyan muncul dari pengalaman yang telah direfleksikan. Di sini, pengalaman mengantar seseorang untuk merasakan sesuatu yang mengitari dirinya.
Kesadaran bahwa ada yang memelihara alam semesta dan manusia bersumberkan pada pengalaman mengamati perubahan-perubahan yang terjadi. Mengapa ada hujan? Mengapa ada sumber air? Mengapa ada angin? Semuanya tentu demi kelangsungan hidup di dunia ini. Sang pemelihara memberikan semuanya ini demi hidup dalam persaudaraan.
Kesadaran orang Manggarai Timur tak dapat dilepaskan dari kultur agraris yang memiliki keterkaitan yang erat antara alam dengan seluruh kehidupan ciptaan. Tanah, gunung, air, iklim mempunyai relasi yang tak terpisahkan dan menyatu dengan kehidupan semua makhluk. Kesadaran akan semua unsur itu menyata dalam berbagai bentuk. Orang Manggarai Timur memiliki relasi yang intim dengan alam semesta. Konsep pemahaman monisme dianggap sebagai milik manusia Timur pada umumnya. Dalam konsep ini ada keyakinan bahwa manusia dan seluruh realitas yang tampak, pun tak tampak membentuk satu kesatuan yang tidak retak. Dengan kata lain segala yang ada mengambil bagian dalam kehidupan yang ada dalam aku. (Deki, 2011: 58).
Hampir setiap orang Manggarai Timur dipengaruhi atau merasa diganggu oleh roh. Setiap saat kita bisa saksikan adanya anak-anak yang takut tinggal sendirian di dalam rumah atau takut tidur sendirian di kamar tidur. Menurut pendapat orang Manggarai, sebab-sebab dan sumbernya adalah pengaruh dan gangguan yang berasal dari roh-roh yang disebut secara umum “poti” dan roh para leluhur. Menurut tempat tinggalnya, roh-roh itu dapat digolongkan atas roh yang tinggal di hutan seperti makhluk halus. Kepercayaan itu melahirkan sebuah pemahaman bahwa manusia selalu berelasi dengan ciptaan lain.
Ada beberapa nilai yang perlu kita refleksikan bersama dari ritual peler orang Lamba Leda, Manggarai Timur. Pertama, penghormatan dan penghargaan terhadap ciptaan yang lain. Kesadaran akan keberadaan ciptaan yang lain menghadirkan sikap kerendahan hati dalam diri manusia. Dalam pemikiran Armada Riyanto penghargaan menghindarkan manusia dari kengenasan. Penghargaan adalah sebuah pertaruhan. Dan, tokoh pertaruhan adalah manusia. Dalam pengharapan manusialah yang menjadi subjek sekaligus objek. (Riyanto, 2013: 170).
Kedua, melihat alam sebagai tempat yang sakral. Mata manusia harus sampai pada titik terjauh melihat alam sebagai locus sakral. Ketika manusia memiliki rasa seperti itu, maka penghancuran terhadap alam dan pengeksploitasian terhadap ciptaan lain merupakan sesuatu yang di luar kemanusiaan. Desakralisasi terhadap alam atau hutan mengakibatkan manusia semena-mena menghancurkan alam. Manusia memposisikan diri sebagai “monster” yang ganas, siap untuk menghancur dan membumihanguskan hutan.
Ketiga, ciptaan lain adalah titipan Tuhan yang terindah bagi manusia. Relasi manusia dan ciptaan lain adalah pola relasi subjek-subjek. Ritual peler mengajarkan bahwa sebagaimana manusia jika dilukai pasti marah, demikian pun ciptaan lain. Makhluk halus di hutan atau rawa akan marah jika kenyamanan mereka terganggu. Oleh karena itu, permohonan maaf merupakan langkah terbaik menuju pelepasan perasaan sakit hati dan dikecewakan.
Keempat, gerakan amorisasi (Pandor, 2014, 88). Ritual peler menggencarkan gerakan amorisasi. Di tengah dunia yang sedang sakit. Di tengah alam yang sedang rusak oleh keserakahan manusia, gerakan amorisasi merupakan sebuah langkah jitu menuju kesatuan. Gerakan amorisasi harus diwujudkan dari ruang keluarga, ruang budaya, ruang masyarakat, dan sampai pada skala yang lebih tinggi yaitu lingkup negara. Kerja hendaknya membebaskan manusia dari kegiatan penindasan.
Bibliografi
Deki, Kanisius Teobaldus, 2011. Tradisi Lisan Orang Manggarai, Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, Jakarta: Parrhesia Institute.
Pandor, Pius, 2014. Seni Merawat Jiwa.
Pandor, Pius, 2015. “Tiba Meka dalam Budaya Manggarai”, dalam Armada Riyanto, Kearifan Lokal-Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, Yogyakarta: Kanisius, Tinjauan Filosofis. Jakarta: OBOR.
Riyanto, Armada, 2013. Menjadi-Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.
Verheijen, Jilis A. J., 1967. Kamus Manggarai I, Manggarai-Indonesia, Belanda: Koninklijk Instituut Voor Taal-LAND-EN VOLKENKUNDE.
Lihat Juga
Eugen ()