Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Wenggol (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Gotong Royong)


Dalam Kamus besar Bahasa Manggarai, kita tidak menemukan kata wenggol. Kata wenggol berpadanan dengan kata dodo. Dalam Kamus Manggarai, kata dodo artinya bertolong-tolongan, bergotong royong (Verheijen, SVD: 1967: 86). Orang Lamba Leda praksis mengenal dua ungkapan yaitu dodo dan wenggol. Wenggol digunakan dalam budaya Lamba Leda Timur. Apa yang membedakan wenggol dan dodo. Kalau dodo berarti membantu sesama tanpa harus membalas dengan bantuan yang sama. Dalam wenggol, orang bekerja saling membantu namun ada giliran seperti orang yang arisan.

Kerja merupakan bagian dari kehidupan manusia. Manusia sering dijuluki sebagai homo faber yang juga disebut sebagai co-creator Allah yang berpartisipasi dalam penciptaan melalui hasil kreasi budinya. Orang Lamba Leda bekerja dengan menggunakan keutamaan wenggol. Sekarang kebiasaan wenggol hampir tidak dilakukan lagi. Berkat kemajuan teknologi, lama-lama mereka mencari cara lain untuk menghasilkan suatu hal.

Dalam wenggol, nilai memberi memiliki makna yang lebih tinggi. Nilai memberi merupakan realitas kehidupan. Dalam pemikiran Armada Riyanto.

Mengada (being) sama dengan memberi. Dengan mengada memaksudkan menghidupi

hidupnya, melakukan peziarahan dirinya, mengada bersama sesamanya. Hidup itu sendiri

menampilkan diri sebagai rangkaian berupa anugerah. Mula-mula kita menyadari hidup

itu bukan berasal dari diri sendiri. Hidupku tidak pernah berasal dari diriku. Hidup itu

adalah anugerah. Hidupku berasal dari Tuhan. Dan, hidup tak lain adalah sebuah

pemberian (Riyanto, 2013: 106).

Wenggol mengatakan kebenaran bahwa manusia saling membutuhkan yang lain. Ruang lingkup kehidupan adalah ruang kebersamaan. De facto, manusia adalah makhluk sosial. Sosialitas kemanusiaan dalam kebersamaan dengan liyan.

Gambaran di atas, digunakan untuk menggambarkan suatu nilai tertinggi kehidupan. Wenggol bukan saja soal berkumpul dan bercerita. Lebih dari itu, wenggol menafikan keegoisan. Adanya wenggol karena sejak zaman dahulu, terdapat tiga jenis aktivitas yang berkaitan dengan mata pencaharian Orang Manggarai sebagai petani. Pertama, bekerja di ladang atau sawah. Kedua, berburu. Dan ketiga beternak. Masyarakat Manggarai Timur umumnya adalah petani dengan kultur agraris yang kental dan evolutif. Mula-mula lahan pertanian, khususnya ladang dikerjakan dengan pola sederhana dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Kenyataan ini berlaku manakala jumlah penduduk belum terlalu banyak. Pada masa kini, hal itu sulit dilakukan karena terkait dengan pelbagai aturan hukum pemerintahan dan semakin padatnya manusia yang menghuni daerah-daerah yang dulunya tak berpenghuni. (Deki, 2011: 84).

Ada pun nilai dari wenggol dalam kebiasaan orang Lamba Leda, Manggarai Timur yang perlu dihidupi adalah sebagai berikut. Pertama, hidup adalah sebuah peristiwa “singgah”. Hidup memiliki kodrat kesementaraan, sebab singgah tak pernah memakan waktu lama. Hidup itu sementara, dan karenanya manusia harus mengerti bahwa hidup itu sesuatu yang bernilai, berharga. Apa saja yang kita alami dalam hidup tidak pernah berlangsung lama. Jika kita bergembira, kita bergembira dalam beberapa waktu saja. Jika kita sedang menghadapi duka dan kecemasan, kita perlu ingat duka itu pun tidak akan selamanya (Riyanto, 2013: 52). Atau dalam lain perkataan, hidup itu adalah persahabatan. Persahabatan itu pertama-tama relasi manusiawi. Tetapi relasi di sini memiliki fondasi kokoh yaitu cinta.

Kedua, unisitas kemanusiaan. Dalam tesis dasar Armada Riyanto:

unisitas, manusia bersatu dan harus bersatu sama lain. Ia tidak perlu harus mengalahkan satu sama lain seperti dalam disposisi perang dan pertempuran. Konsep ini juga membawa kebenaran bahwa perang atau tindakan konflik memiliki absuditas yang sulit dijelaskan. Sebab, kehadiran individu-individu adalah kehadiran yang melukiskan kesatuan manusia itu sendiri. Seandainya manusia hanya “satu” saja ia mungkin tidak bisa disebut “individu”, sebab mau dibedakan dari siapa. Tetapi, ketika ada individu-individu, manusia bersatu sama lain.

Ketiga, kesadaran “Aku” hidup bukan untuk bersaing. Kesadaran aku artinya apa? Armada Riyanto dalam buku “Aku dan Liyan” menyadarkan kita, kesadaran aku adalah kesadara akan “esse-ku”, realitas (Riyanto, 2011: 10). Kesadaran akan aku menghadirkan kesadran akan yang lain. Wajah yang lain semakin jelas ketika orang melihat wajahnya. Kita diajak menyimak pusi yang dikutip Pius Pandor dari Harry Holland dalam “Seni Merawat Jiwa”

Wajah di Depan Cermin

Jika kamu mendapat apa yang menjadi obsesimu selama ini,

dan dunia membuatmu merasa bagai raja dalam sehari,

pergilah ke cermin dan tataplah dirimu di situ,

dengarkanlah apa yang akan dikatakan wajah

dalam cermin itu.

Kerena bukanlah penilaian ayah, ibu,

atau isterimu (temanmu),

yang menentukan ketulusanmu,

tapi keputusan yang paling berharga

datang dari dia yang menatap kembali dari cermin (Pandor, 2014: 103).

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Deki, Kanisius Teobaldus, 2011. Tradisi Lisan Orang Manggarai, Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, Jakarta: Parrhesia Institute.

    Pandor, Pius, 2014. Seni Merawat Jiwa, Tinjauan Filosofis, Jakarta: OBOR.

    Riyanto, Armada, 2011. Aku dan Liyan, Malang: STFT Widya Sasana.

    Riyanto, Armada, 2013. Menjadi-Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.

    Verheijen, Jilis A. J., 1967. Kamus Manggarai I, Manggarai-Indonesia, Belanda: Koninklijk Instituut Voor Taal-LAND-EN VOLKENKUNDE.


    Lihat Juga

    Peler (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Permohonan Maaf kepada Alam Ciptaan)  Hambor (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Perdamaian dan Pengampunan)  Cimpa (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Membagi Rejeki) 

    Oleh :
    Eugen ()