Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Cimpa (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Membagi Rejeki)


Kata cimpa dalam kamus Manggarai diterjemahkan sebagai membagi-bagikan sedikit dari keuntungan. Cimpa olo latung dise (kalau jagung mereka berisi lebih dahulu, mereka memberikan kepada tetangga atau warga kampung). Cimpa juga dalam rupa daging. Nakeng cimpa data (daging yang diberikan oleh orang lain). Cimpa dalam kasus lain diterjemahkan dengan ingat (akan). Dengan demikian dalam kamus Manggarai, ada dua pengertian tentang cimpa. Pertama, membagikan sedikit keuntungan kepada sesama. Kedua, “ingat akan” (Verheijen, SVD: 1967: 704).

Dalam budaya suku Ninge, Lamba Leda, Manggarai Timur arti cimpa adalah membagi rejeki atau sukacita kepada orang lain. Rejeki bisa dilambangkan dengan pemotongan hewan seperti sapi, babi. Daging sapi dan babi lalu dibagikan kepada tetangga atau siapa saja yang dikenal oleh yang menerima rejeki. Dalam arti inilah kata cimpa dipakai. Akan tetapi tidak semua daerah di Manggarai menggunakan kata cimpa. Di wilayah Manggarai Barat, khususnya Lembor, menyebutnya dengan séri.

Cimpa menunjukkan pada beberapa aktivitas. Selain membagi rejeki berupa daging. Cimpa juga dalam berupa barang, misalnya beras, jagung, dan berbagai jenis barang lainnya. Orang Lamba Leda, Manggarai Timur melihat bahwa rejeki merupakan rahmat dan karunia dari Mori Kraeng (Tuhan).

Sekarang, saya mencoba menarasikan tentang cimpa dalam budaya Suku Ninge, Lamba Leda, Manggarai Timur. Sebuah keluarga A memberikan nuru (daging) kepada keluarga B.

Mekas, hang camas nuru so. Pengaruh nemeseng haeng motong le mai uma lite ta ne. motang mese lite ne. Jadi, rejeki dite agu rejeki daku.” (Tuan, makan bersama daging ini. Kemarin kami mendapat babi hutan di kebun. Maka, kami pun membawa daging ini kepada tuan). Memberi bukan saja sebuah perpindahan barang atau rejeki dari tangan orang kaya kepada orang miskin, atau dari orang yang berlebihan barang kepada yang kekuarangan. Bisa saja dalam hidup sehari-hari demikian. Tetapi, apabila memberi sebagai mengada dari diriku direduksi pada barang, halnya sungguh disayangkan.

Memberi pun tidak dalam pemahaman menuntut balasan. Memberi pertama-tama sebagai nilai etis kemanusiaan. Aktivitas memberi tidak bisa disembunyikan oleh manusia. Tidak ada yang rugi dari perbuatan saling memberi rejeki kepada yang lain.

Orang Lamba Leda sungguh meyakini bahwa kehidupan bersama dengan orang lain merupakan syarat penting keberadaan seseorang. Maksudnya bahwa orang harus sadar akan pentingnya hidup dalam kebersatuan dengan orang lain. Konsep seperti ini tampak sekali dalam tata kampung yang terpusat dengan rumah-rumah dibuat mengelilingi rumah adat tersebut. Pentingnya kesatuan dan persaudaraan dengan orang lain juga tampak dalam berbagai tata ritual. Salah satu hal yang menarik adalah perihal membagi rejeki.

Hidup berasal dari Tuhan. Manusia nyaris tidak bekerja sendirian untuk menumbuhkan diri. Pengetahuan, kepandaian, dan keterampilan pun juga merupakan rangkaian pendidikan dan ajaran yang adalah pemberian orang lain.

Praksis cimpa ini merupakan praksis etis yang mengedepankan beberapa makna penting sebagai berikut: Pertama, kehidupan bersama merupakan satu kesatuan, keutuhan. Karena kehidupan bersama merupakan satu keutuhan, maka semuanya harus berimbang, saling mendukung, saling menguatkan. Orang Manggarai mengakui bahwa ada orang yang lebih berhasil dalam hidupnya dan ada yang kurang beruntung. Akan tetapi dalam kebersamaan yang satu tersebut, semuanya melebur menjadi satu. Perbedaan ekonomi bukan menjadi penghalang bagi terwujudnya kebersamaan yang utuh tetapi justru menguatkannya. Artinya dengan berbeda, mereka saling mendukung, memberdayakan. Ungkapan yang paling lumrah dari tindakan saling mendukung dan memberdayakan ini adalah cimpa.

Kedua, menuju “human solidarity”. Panggilan untuk menjadi manusia sesungguhnya mendesak (Riyanto, 2011:88). Solidaritas kemanusiaan yang ditawarkan oleh budaya cimpa Lamba Leda dapat memberi sumbangsi bagi nilai etis kemanusiaan. Nilai etis memberi tidak menjadi sebuah ajang untuk pamer diri. Memberi pertama-tama adalah sebuah panggilan kemanusiaan. Manusia Lamba Leda menyadari hidup mereka adalah pemberian. Konsekuensi logisnya, rejeki sebesar atau sekecil apa pun harus bisa dibagikan kepada sesama.

Ketiga, memberi adalah sebuah transendensi diri. Dalam etika kita tahu bahwa manusia itu berbuat dan harus berbuat. Dalam rumusan Armada Riyanto:

Logika eksistensial “mengada-untuk-dirinya” tidak boleh dimaknai secara egoistik. Mengada-untuk-dirinya memiliki maksud bahwa manusia adalah dia yang terus menjadi, berubah, berziarah. Dan, “mengada-untuk-yang lain” jelas memaksudkan sebuah kebenaran ontologis memberi. Kebenaran ontologis berarti kebenaran yang tidak tergantung dari sebuah bukti dalam tindakan melainkan menyatu dalam kodrat dan keberadaannya sebagai demikian. (Riyanto, 2013: 107).

Dalam konteks yang lebih jauh, Armada mengatakan memberi adalah sebuah transendensi diri. Memberi merupakan sebuah penyebarangan diri dari kepentingan sendiri kepada orang lain. Memberi memungkinkan orang lain mendapatnya sebagai “hadiah” yang mengembirakan. Memberi memungkinkan aku sebagai eksistensi yang menjadi (Riyanto, 2013: 110).

Kesadaran akan keberadaan manusia, memungkinkan orang Lamba Leda memberikan hidup mereka kepada orang lain. Memberi tidak juga dari kelebihan, karena latar belakang orang Lamba Leda sebagian besar tidak kaya, tidak juga miskin. Hidup dalam berkecukupan juga membiasakan orang saling memberi.

Memberi pada taraf ideal sampai pada memberi diri. Jika manusia adalah makhluk mengada. Maka, identik keberadaan manusia adalah memberi. Memberi dengan demikian tidak saja sebuah aktivitas etis, tetapi lebih dari itu yaitu sebuah panggilan atau sekolah kemanusiaan.

  • Lihat Juga

  • Lihat Juga

    Peler (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Permohonan Maaf kepada Alam Ciptaan)  Hambor (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Perdamaian dan Pengampunan)  Wenggol (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Gotong Royong) 

    Oleh :
    Eugen ()