Hambor (Bahasa Lamba Leda, Manggarai Timur, Flores: Perihal Perdamaian dan Pengampunan)
Dalam kamus Manggarai, kata hambor diartikan sebagai damai, tenteram (Verheijen, SVD: 1967: 152). Dalam pengertian orang Lamba Leda, kata Hambor merupakan ritus pengampunan dalam budaya Suku Ninge, Lamba Leda, Manggarai Timur. Hambor terjadi ketika dua kelompok atau dua keluarga saling bertikai. Jalan untuk memulihkannya adalah hambor. Hambor memberikan pengampunan. Pengampunan melahirkan pelepasan. Pelepasan menciptakan kebebasan. Dan dasar dari semuanya adalah cinta. Budaya hambor tak lagi mencari siapa yang benar dan salah. Siapa yang pantas dihukum dan siapa yang tidak. Siapa yang pantas dipersalah dan siapa yang dibebaskan.
Ketika ada pengampunan, ada sebuah penerimaan baru. Penerimaan baru lahir dari suatu kesadaran bahwa manusia adalah komunitas persaudaraan. Dalam ranah publik, hambor terjadi mana kala ada kelompok tertentu yang bertolak belakang dan saling bermusuhan.
Ritus hambor dilakukan bukan karena paksaan. Hambor biasanya tidak terjadi ketika salah satu pihak dipaksakan untuk memberikan pengampunan. Hambor terletak pada kesadaran subjek, kelompok, dan juga suku. Dalam hal ini Armada Riyanto pernah menulis demikian.
Maaf mengungkapkan sensibilitas hati. Maaf tidak selalu mengandaikan kesalahan yang karenanya aku perlu meminta maaf. Maaf juga diucapkan untuk mengungkapkan keindahan disposisi hati, bahwa aku tidak mau menyakiti siapa pun. Maaf semacam menjadi pemulihan relasional. Maaf menjadi sebuah cetusan kebaikan hati manusia yang direalisasikan dalam ucapan. (Riyanto, 2013: 231).
Hambor menitik pada pemberian diri. Pemberian diri artinya tidak merasa bahwa saya benar dan menutup diri untuk meminta maaf. Permusuhan melahirkan cacat relasi. Cacat relasi mengkerdilkan nilai kemanusiaan.
Rasa bersalah, kekeliruan, dan juga salah ucap niscaya hadir dalam kehidupan manusia. Kesadaran akan kelemahan manusiawi memunculkan suatu “jalinan relasi baru”. Relasi baru bukan berarti melupakan luka dan kesalahan, melainkan kesadaran bahwa manusia pada hakikatnya adalah relasi.
Salah satu krisis terbesar dalam kehidupan manusia adalah krisis pengampunan. Setiap orang ingin mempertahankan harga diri dan prestise. Orang enggan untuk merendahkan diri dan meminta maaf. Krisi ini pun hadir dalam masyarakat Lamba Leda, Manggarai Timur. Setua kehidupan manusia, orang tua dulu menemukan titik temu untuk menyatukan sebuah pertikaian yaitu hambor.
Sekarang saya ingin menampilkan narasi hambor dalam ritus budaya Suku Ninge, Lamba Leda, Manggarai Timur. Suatu kali sebuah keluarga berselisih dengan keluarga lain. Perselisihan itu disebabkan oleh salah satu keluarga menjadi “korban”. Kebun mereka dihancurkan oleh keluarga lain. Sekawanan kambing dari keluarga tadi menghancurkan kebun dari salah satu keluarga. Permusuhan pun berlanjut.
Dalam proses, ada satu keluarga yang merasa bersalah dan merasa ada sebuah cacat relasi antara satu dengan yang lain. Lalu keluarga A meminta kepada keluarga B untuk berdamai. Keluarga B pun awalnya sulit menerimanya. Seiring berjalannya waktu, keluarga B menerima permohonan dari pihak A.
“Hambor keta ata nau one lonto cama ho’o. neka po’ongs jogot, bete nggete. Paka oke keta taungs beti nai, mose molor one lino. Mber koe taungs negong-nangong, du leso saled, wae le waes laud.”
“berdamailah yang indah dalam duduk bersama. Jangan rasa dengki dipelihara, pupuskan sakit hati. Haruslah sakit hati dibuang, hidup benar di bumi. Menjauhlah sesama pertengkaran, pergi bersama terbenamnya mentari, terbawa air yang mengalir” (Pandor, 2015: 230).
Hambor pun dilakukan di Rumah Adat atau bisa juga di rumah yang sudah ditentukan. Hambor dihadiri oleh pihak lain. Pihak lain itu semacam saksi bahwa keluarga A dan B sudah memberikan diri untuk saling memaafkan.
Dalam ritus hambor, pihak A membawa tuak dan juga ayam sebagai simbol bahwa mereka dengan rendah hati merasa bersalah. Pihak B juga menerima itu dengan lapang hati. Pihak B juga tidak menuntut siapa yang benar dan siapa yang salah. Pihak B menerima itu dengan lapang.
Dari sini, kita bisa melihat ada beberapa nilai-nilai budaya hambor yang perlu dihidupi dalam kehidupan kita sekarang. Pertama, pengampunan itu indah. Di tengah dunia yang mengalami krisis pengampunan, orang perlu berkaca pada budaya hambor. Pengampunan memang sulit, terutama bagi pihak yang dirugikan. Namun, lebih sulit lagi jika dendam itu disimpan sampai berlarut-larut bahkan sampai di liang kubur. Orang Suku Ninge menemukan suatu titik temu. Persoalan latah terjadi dalam kehidupan. Pengampunan melahirkan sebuah relasi baru. Relasi yang tidak lagi memperhitungkan kebenaran dan kesalahan.
Kedua, memberi itu lebih indah daripada menerima. Orang dilatih untuk memberikan diri bagi orang lain. Memberi dalam konteks ini sangat kuat ketika ada suatu perasaan terluka, orang tetap memberikan kebebasan batin bagi orang lain. Kedua pihak saling merasa bebas, entah dari pihak yang bersalah maupun dari pihak yang melakukan kesalahan.
Ketiga, unsur dasar dari semuanya adalah cinta. Pengampunan itu bukan soal simbol yaitu berjabatangan di media, misalnya TV atau media lainnya. Pengampunan pun tidak perlu dipaksa. Pengampunan itu lahir dari kesadaran terdalam hati manusia dan hadir dari kedalaman diri. Pengampunan yang dipaksakan hanya menjadi simbolis belaka. Dalam budaya hambor, pengampunan itu bukan karena dipaksa. Bukan pula supaya dilihat orang bahwa mereka sudah berdamai. Pengampunan dalam dirinya membutuhkan proses. Cinta adalah dasar dari pengampunan. Sehingga, orang tidak lagi membahas persoalan, tetapi mencari jalan keluar dari persoalan.
Bibliografi
Pandor, Pius, 2015. “Tiba Meka dalam Budaya Manggarai”, dalam Armada Riyanto dkk. Kearifan Lokal-Pancasila, Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan, Yogyakarta: Kanisius.
Riyanto, Armada, 2013. Menjadi-Mencintai, Yogyakarta: Kanisius.
Verheijen, Jilis A. J., 1967. Kamus Manggarai I, Manggarai-Indonesia, Belanda: Koninklijk Instituut Voor Taal-LAND-EN VOLKENKUNDE.
Lihat Juga
Eugen ()