Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama-Cama (Bahasa Manggarai: Jatuh ke dalam got bersama-sama, jatuh ke jurang/tebing bersama-sama)


Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama-Cama (Pau= jatuh, Ngali= got, selokan Cama Laing= bersama-sama, Pau= jatuh Ngampang= jurang, tebing Cama-Cama= bersama-sama) merupakan sebuah go’ēt (Bahasa Manggarai: Pribahasa) dalam adat atau budaya orang Manggarai. Go’ēt merupakan kalimat yang indah didengar dan memiliki makna yang tinggi. Go’ēt seringkali dipakai dalam berbagai kesempatan terutama dalam berbagai ritus adat atau upacara adat yang berlangsung secara resmi (Hamu dkk (ed), 2012: 16).

Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama berarti jatuh ke dalam got bersama-sama, jatuh ke jurang bersama-sama. Dengan kata lain, pribahasa ini memiliki arti yang sama dengan pribahasa yang sudah tidak asing bagi orang Indonesia yakni “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.”

Orang Manggarai tanpa terkecuali Suku Besi yang berada di Manggarai Barat juga mengenal go’ēt dan seringkali memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam rangka mendidik anak maupun dalam acara-acara adat. Suku Besi terletak di Kecamatan Kuwus, Desa Wajur. Suku Besi merupakan suku terbesar dibanding suku-suku lain di kampung Wajur. Dikatakan suku terbesar karena suku inilah yang mengawali kehidupan di kampung Wajur. Jarak dari kota Kabupaten Manggarai Barat-Labuan Bajo ke kampung Wajur kurang lebih 150 kilo meter.

Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama merupakan sebuah ajakan dan permintaan bagi orang Manggarai tanpa terkecuali Warga Suku Besi agar merasakan penderitaan atau pun kebahagiaan dari sesamanya baik dalam kehidupan keluarga (kaeng kilo) maupun dalam lingkup kebersamaan dalam satu kampung. Hal ini mulai diterapkan atau dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari lahir hingga akhirnya ia meninggal dunia.

Dalam tae loas (Bahasa Manggarai: upacara atau pesta kelahiran) dilakukan berbagai upacara adat dan dalam upacara adat ini membutuhkan berbagai macam persiapan baik uang maupun benda-benda atau hewan yang dibutuhkan secara khusus dalam upacara ini (lih. Nggoro, 2013: 158). orang Manggarai sudah sangat paham dengan hal ini dan karena mereka menganut pribahasa Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama, secara sadar, tahu dan mau mereka akan membantu keluarga yang sedang mengadakan upacara kelahiran. Bantuan tersebut baik berupa dukungan moril maupun berupa dukungan materi atau benda-benda serta hewan yang dibutuhkan dalam upacara adat kelahiran. Bagi orang Manggarai kelahiran seorang anak patut disyukuri dan patut dirayakan. Sebab, seorang anak merupakan pelanjut atau pewaris keturunan dalam keluarga (kaeng kilo). Seluruh upacara adat kelahiran sebenarnya ingin membina kekeluargaan, kekerabatan atau persaudaraan dalam kehidupan bersama. (Nggoro, 2013: 164)

Pribahasa Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama juga dipraktekkan dalam acara kumpul weki (Bahasa Manggarai: pesta sekolah). Kumpul weki merupakan sebuah usaha untuk mengumpulkan dana bagi pendidikan anak-anak yang berasal dari suatu kampung. Biasanya kegiatan ini dilakukan pada saat seorang anak hendak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dalam “pesta sekolah” seluruh warga kampung (pa’ang olo ngaung musi) terlibat aktif dalam pengumpulan dana tersebut. Pengumpulan dana ini bisa dalam bentuk uang maupun dalam bentuk beras atau hewan yang dipakai dalam kegiatan tersebut. (Deki, 2011: 50)

Dalam upacara lonto leok (Bahasa Manggarai: duduk melingkar) yang biasa diadakan di mbaru gendang (Bahasa Manggarai: rumah adat orang Manggarai) seluruh warga kampung berkumpul bersama untuk membahas suatu masalah atau suatu kegiatan yang akan berlangsung. Dengan kata lain, lonto leok merupakan sebuah bentuk musyawarah dalam sebuah kampung. Tentu kegiatan ini harus dihadiri oleh seluruh warga kampung tanpa terkecuali. kesibukan dalam keluarga tidak dapat menjadi alasan untuk tidak menghadiri upacara lonto leok. Lonto leok ini memang sangat penting untuk menjaga kerukunan hidup bersama dalam kehidupan bersama (Riyanto dkk (ed), 2015: 458-460). Dalam hal inilah pribahasa Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama berlaku dalam kehidupan orang Manggarai tanpa terkecuali warga Suku Besi.

Pribahasa Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama juga berlaku dan dipraktekkan oleh orang Manggarai dalam upacara perkawinan. Artinya bila sebuah keluarga sedang menyelenggarakan upacara perkawinan seorang anaknya seluruh warga kampung tanpa dipaksa harus ikut terlibat untuk mempersiapkan dan menyukseskan acara tersebut. Biasanya seluruh warga kampung (pa’ang olo ngaung musi) juga diminta untuk mengumpulkan beras dan uang untuk menyukseskan acara tersebut. Selain itu, pengumpulan dana tersebut dilakukan sebagai wujud atau sarana membangun hubungan kekerabatan atau persahatan serta untuk mendukung keluarga terutama pengantin baru. (lih. Nggoro, 2013: 109-120)

Pribahasa Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama juga dipraktekkan dalam upacara kematian (tae mata). Ada berbagai ritus dan upacara yang diadakan ketika seseorang atau salah satu warga kampung meninggal. Maka, kehadiran dan dukungan dari sesama warga kampung sangat dibutuhkan. Dukungan itu dapat berupa dukungan moril maupun dukungan materi. Tetapi, kebiasaannya orang Manggarai selalu mengumpulkan dana (materi) untuk menyelenggarakan upacara kematian ini. Dukungan tersebut sebagai bentuk ungkapan bela sungkawa. Selain itu, bila dalam sebuah kampung ada seorang warga kampung meninggal maka seluruh kegiatan di kampung tersebut dihentikan atau tidak dapat dilakukan. Apa pun jenis kegiatannya dan semendasak apa pun kegiatan tersebut tetap harus ditinggalkan. Seluruh warga kampung harus turut hadir dan ikut berdukacita bersama keluarga yang ditinggalkan oleh warga kampung yang telah meninggal tersebut. (lih. Nggoro, 2013: 167-177).

Bila kita menyimak dan berusaha untuk menarik benang merah dari seluruh penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pribahasa Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama merupakan sebuah bentuk dan praktek hidup orang Manggarai tanpa terkecuali warga Suku Besi dalam relasinya dengan yang lain. Apa yang dikatakan oleh Martin Buber bahwa relasi kodrati manusia tercipta apabila relasi tersebut dibangun atas dasar “aku” menghormati, memartabatkan, memperhitungkan “engkau” sebagai “aku yang lain” dan tanpa “engkau” mustahil “aku” ada.(Riyanto dkk (ed), 2011: 20-21) sudah dipraktekkan oleh orang Manggarai dalam kehidupan sehari-hari.

Pemikiran atau pemahaman Emauel Levinas tentang yang lain atau liyan juga sudah dipraktekkan oleh orang Manggarai. Orang Manggarai menyadari bahwa kebahagiaan liyan itu identik dengan kebahagiaan “diri sendiri” dan penderitaan liyan itu juga identik dengan penderitaan “diri sendiri.” (Riyanto, 2013:59) Mungkin, pemahaman Levinas ini mau mengajak semua manusia untuk membangun relasi dan memperhitungkan, menghormati, memartabatkan liyan sebagai “aku yang lain.” Orang Manggarai sebenarnya sudah berada satu langkah di depan Levinas. Sebab, sebelum pemikiran ini muncul orang Manggarai sudah mempraktekkan pemahaman Levinas tersebut. Hal itu terkandung dalam pribahasa Pau Ngali Cama Laing, Pau Ngampang Cama- Cama.

Dengan demikian, tidak mengherankan bila orang Manggarai sangat menjunjung tinggi persahabatan dan persaudaraan dengan yang lain. Mereka berusaha untuk sedapat mungkin mengenal satu dengan yang lainya baik dengan sesama yang berasal dari Manggarai maupun dengan sesamanya di luar orang Manggarai. Hal ini, sangat kental dan dapat disaksikan dalam hidup orang Manggarai diperantauan. Sedapat mungkin mereka bersatu dan berkumpul bersama dalam berbagai kegiatan. Sebab, mereka sadar bahwa tanpa yang lain (engkau) “aku” tidak mungkin dapat bekerjasama dan dapat mengembangkan hidup. Lalu, bagaimana dengan peristiwa pembunuhan yang terjadi antara sesama orang Manggarai? Masihkah orang Manggarai dapat dikatakan sebagai orang yang sangat memartabakan yang lain? Dalam konteks ini penulis mau mengatakan bahwa peristiwa pembunuhan itu terjadi karena manusia lebih mementingkan nafsu kebinatangannya. Maka, peristiwa ini sama sekali tidak mengecilkan atau merendahkan predikat orang Manggarai sebagai orang yang sungguh-sungguh memartabatkan dan menghormati liyan.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Deki, Kanisius Teobaldus. Tradisi Lisan Orang Manggarai. Jakarta: Parrhesia Institut Jakarta. 2011.

    Hamu, Donatus, dkk (ed). Mulok Kelas X Untuk SMA/MA/SMK. 2012.

    Nggoro, Adi, M. Budaya Manggarai Selayang Pandang. Ende: Nusa Indah. 2013.

    Pandor, Pius. Meyibak Praksis Lonto Leok dalam Demokrasi Lokal Manggarai, dalam Armada Riyanto, et all (ed). Kearifan Lokal Pancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan. Yogyakarta: Kanisius. 2015.

    Riyanto, Armada dkk (ed). Aku dan Liyan. Malang: Widya Sasana Publication. 2011.

    -----------. Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius. 2013.


    Lihat Juga

    Mori Kraéng Jari Agu Dédék (Bahasa Manggarai: Tuhan ‘Penjadi dan Pembentuk’)  Ema Agu Anak Neka Woleng Bantang, Ase Agu Kae Neka Woleng Tae (Bahasa Manggarai: Ayah dan Anak tidak boleh berbeda pendapat, adik dan kakak tidak boleh berbeda dalam berkata)  Neki Weki Manga Ranga, Padir Wai Rentu Sai (Bahasa Manggarai: Kebersamaan Itu Lahir Dalam Kehadiran Dan Persatuan Dengan Yang Lain) 

    Oleh :
    Firminus Marianto CM ()