Wuamalugere (Bahasa Larantuka, Flores Timur, NTT: hal “Upacara sehari sebelum pernikahan”)
Di Kota Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, terdapat suatu kebiasaan yang telah berkembang dalam dan di tengah kehidupan masyarakat Lamaholot yang berkaitan dengan upacara sehari sebelum pernikahan. Upacara tersebut yaitu Wuamalugere. M. Widiyatmika,dkk bersama tim Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan (1983: 51) menjelaskan bahwa wuamalugere merupakan suatu upacara yang dilakukan sehari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Wuamalugere yaitu upacara menghantarkan sirih-pinang dan bahan-bahan untuk pesta pernikahan serta gading, pakaian dan berbagai perelengkapan pesta dan ternak. Wuamalugere dapat disebut juga migegare atau doalihoape. Ketiga istilah ini memiliki arti yang sama. Wuamalugere yang terjadi di Larantuka serupa atau dapat dibandingkan juga dengan midodareni yang terjadi di Jawa.
Dalam upacara pernikahan di kalangan suku Lamaholot, biasanya yang menanggung sebagian besar biaya termasuk berbagai barang keperluan pesta perniakahn tersebut adalah dari pihak keluarga pengantin laki-laki. Oleh karena itu, sehari sebelum pesta tersebut berlangsung segala keperluan pesta harus sudah dihantar ke rumah mempelai wanita. Biasanya acara ini sudah ditetapkan bersama kedua belah pihak sebelumnya. Dalam upacara hantaran tersebut, umumnya dilakukan pada malam hari yang dimulai dari rumah mempelai laki-laki dan kemudian menuju ke rumah mempelai wanita sambil membawa semua barang hantaran tersebut. Dalam upacara ini kedua mempelai tidak ikut serta. Rombongan pengantar dari biasanya terdiri dari keluarga pengantin pria dan beberapa kerabat serta kenalan yang diundang dan dipimpin oleh seorang wakil keluarga yang bertindak sebagai juru bicara di hadapan keluarga mempelai wanita. Setibanya di depan rumah mempelai wanita mereka akan diterima secara adat barulah barang-barang antaran diterima. Sesudah barang-barang tersebut diterima barulah pengantin wanita yang sudah dilengkapi dengan pakaian pengantin secara adat, diatur ke rumah mempelai laki-laki bersama dengan keluarga mempelai laki-laki yang tadinya mengantar barang-barang antaran tersebut. dari rumah mempelai laki-laki, kedua mempelai menuju ke rumah adat kelurga. Di rumah adat tersebut mereka melakukan upacra adat lagi di mana mempelai wanita harus menuangkan tuak pada tiang agung rumah adat di sebelah kanan. Dari rumah adat kedua mempelai kedua mempelai di mana pengantin pria sambil memikul gading diantarkan ke rumah orang tua mempelai wanita. Sebagi balasan atas gading ang diantar, pengantin laki-laki akan mendapat sarung adat atau berbagai pakaian perlengkapan pengantin laki-laki. Sedangkan mempelai wanita menyuguhkan sirih pinang kepda saudara laki-laki dari pengantin pria yang kemudian akan dibalas dengan memberikan sarunga adat atau gelang gading yang sesuai dengan harga imbalan dan gading yang telah dibawa. Sesudah acara ini, orang tua pengantin wanita memberi berkat restu kepada kedua mempelai. Kemudian kedua mempelai dan kelurga pergi ke tempat pesta pernikahan yang bertempat di ruamh adat. Dengans selesainya upacara ini maka secara adat, pernikahan tersebut telah selesai. Namun dengan perkembangan zaman terutama dengan berkembanganya agama maka upacara pernikahan tersebut dilakukan juga di Gereja dengan penerimaan Sakramen Pernikahan (bagi yang beragama Katolik) dan upacara akad nikah (bagi yang beragama Islam).
M. Widiyatmika bersama tim Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan (1983: 48) melanjutkan bahwa perlu diketahui juga bahwa sebelum upacara wuamalugere, dilakukan upacara dalam rangka peminangan dengan tujuan untuk meresmikan tanda ikatan kedua calon pengantin melalui proses peminangan tersebut. Upacara peminangan tersebut berlangsung secara bertahap. Di antara tahap-tahap tersebut dalah getekewae atau hapaanak. Getekewae merupakan tahap meminta gadis (peminangan) yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga wanita. Upacara peminangan dilakukan di rumah orang tua si gadis dan biasanya berlangsung di siang hari. Dalam proses peminangan tersebut, yang menjadi pemimpin rombongan dari pihak laki-laki adalah saudara laki-laki dari ibu dan saudara serta orang tua dari calon pengantin laki-laki juga turut serta dalam rombongan ini. Barang-barang yang diperlukan dalam peminangan dibawa oleh pihak laki-laki seperti sirih-pinang, tembakau, beras, ayam, kopi, dll. Setelah rombongan pihak laki-laki telah diterima oleh keluarga pihak wanita maka dilanjutkan dengan pembicaraan adat terkait maksud peminangan tersebut. Dalam proses ini, pembicaraan dengan bahasa-bahasa syair dan simbolis sangat menentukan diterima tidaknya suatu pinangan. Stelah pembicaraan tersebut memperoleh hasil maka dilanjutkan dengan makan bersama serta pembicaraan lanjutan untuk menentukan peresmian pertunangan yang akan ditandai dengan suatu ikatan berupa cincin dan ternak yang diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga wanita sebagi tanda resminya pertunangan.
Upacara wuamalugere yang telah dijelaskan di atas berkaitan dengan etika komunitarian altuistik. Sekali lagi ditekankan bahwa etika komunitarian altuistik mengajarkan untuk menghormati, menghargai dan mengakui keberadaan sesama sebagai manusia (subjek) dan buka sebagai liyan (objek). Dalam mengikuti perkuliahan etika bersama Prof. Armada, berkaitan dengan etika komunitarian altuistik ini salah satu yang penulis tangkap adalah bahwa dalam etika ini nilai-nilai baik harus dipondasikan pada konsep-konsep hidup bersama. Demikian halnya dengan upacara wuamalugere tersebut. Penulis melihat bahwa dengan berbagai rangkai upacara yang dilakukan, upacara tersebut menampilkan atau menunjukkan sikap yang sangat menunjung tinggi pribadi seseorang. Meskipun calon pengantin wanita akan dinikahi dan menjadi milik calon pengantin pria seutuhnya setelah pernikahan nanti, si calon pengantin pria beserta keluarganya tidak mengambil si calon pengantin wanita begitu saja tetapi melalui suatu upacara (meskipun secara adat) yang menggambarkan sikap hormat kepada pribadi calon wanita tersebut dan juga keluaraganya. Dengan upacara tersebut, si calon pengantin wanita akan merasa bahwa dirinya sangat dicintai dan diterima oleh calon suaminya tanpa memandang kekurangan dirinya dan berbagai perbedaan/latar belakangnya dari aspek apapun serta adanya rasa penerimaan, penghormatan dan penghargaan di antara keluarga kedua belah pihak. Relasi yang berawal hanya dari dua individu membentuk suatu relasi dan kekeluargaan yang lebih besar. Hal ini dikatakan juga oleh Prof. Armada bahwa individu tidak hanya membedakan manusia yang satu dengan yang lain tetapi juga mengatakan unisitas dan pluralitas manusia yang satu dengan yang lain. Unisitas karena manusia bersatu dan harus bersatu dengan yang lainnya (2013: 202). Orang tua si gadis tidak akan merasa kuatir dan cemas dengan anak mereka sebab mereka telah menyaksikan sendiri bagaimana anaknya diterima dan diperlakukan dalam keluarga calon pengantin pria melalui berbagai upacara adat yang cukup panjang tersebut.
Bibliografi
Armada Riyanto, 2013. Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius.
M. Widiyatmika, dkk, 1983. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tengara Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lihat Juga
Aloysius Dirgahayu Doren ()