Ensiklopedia Filsafat Widya Sasana
| Tentang EFWS

Hal “Persiapan-persiapan untuk Menabur Benih”


Di Pulau Flores yang juga disebut Pulau Bunga terdapat suatu kota kecil yang bernama Kota Larantuka. Kota ini terletak paling ujung pulau bunga ini dengan berbagai kekhasannya yang menampilkan keunikan dari kota ini. Salah satu keunikkannya adalah berkaitan dengan persiapan-persiapan untuk menabur benih. Suatu benih yang telah dipersiapkan untuk ditabur akan memberikan hasil yang baik juga apabila dilakukan persiapan-persiapannya terlebih dahulu. Dalam masyarakat Lamaholot terdapat berbagai persiapan yang dilakukan sebelum menabur benih seperti membersihkan jalan dan membakar ladang,dll. Benih yang ditaburkan kebanyakan adalah benih padi dan jagung. Karl-Heinz Kohl (2009: 370) menjelaskan bahwa setelah lahan-lahan yang akan digunakan untuk menabur benih dibakar kemudian dibersihkan lagi dari sisa pembakaran tersebut. Yang diutamakan adalah melindungi kebun-kebun dari ancaman hama. Para pemuda mendirikan pagar yang tinggi mengelilingi kebun-kebun tersebut agar nanti tanaman-tanaman tersebut tidak dirusakkan oleh babi huta, rusa dan berbagai binatang lainnya. Setelah itu, para tua-tua yang memakai baju adat berwarna hitam dan sarung berwarna merah pergi ke ladang tuan tanah untuk melakukan upacara betin lein boto weran. Maksud dari upacara ini adalah untuk perlindungan ladang-ladang. Upacara ini dimulai dengan penyembelihan seekor babi dan seekor kambing. Tempat pelaksanaan kurban adalah batu tempat duduk Tonu Wujo. Batu itu ditempatkan di situ ketika orang membuka ladang untuk pertama kalinya. Anggota-anggota tubuh dari kedua binatang yang telah disembelih itu diletakkan pada keempat sisi tanah ladang yang akan digarap. Bersamaan dengan anggota-anggota tubuh binatang-binatang tersebut diletakkan juga anyaman-anyaman dari daun lontar yang diisi dengan beras dan nasi serta ruas-ruas bambu yang diisi juga dengan air dan tuak. Setelah itu dilanjutkan dengan doa-doa untuk memohon agar hama dijauhkan dari benih-benih yang ditabur. Pada umumnya upacara ini dilakukan apabila tuan tanah telah melihat dan membaca tanda-tanda alam tentang waktu yang tepat untuk dimuali menabur benih. Hujan pertama sangat menentukan juga bertumbuh atau tidaknya benih yang ditaburkan itu. Jika hujan terlalu lama tidak turun maka benih tersebut akan menjadi kering dan tidak dapat bertunas lagi.

Selanjutnya dilakukan upacara pembersihan ritual batu tempat duduk dewi padi. Biasanya setiap kebun besar memiliki satu tempat persembahan ritual. Upacara pembersihan tersebut dilakukan dengan menggunakan daun dari suatu semak belukar tertentu bersama dengan gumpalan-gumpalan kapas yang kecil. Sesudahnya daun dan kapas itu dilemparkan ke luar dari pagar kebun yang telah ditaburi benih. Upacara ini disebut dengan hamun galak lete rauk. Upacara ini pertama-tama dilakukan di dalam man niko leun dan kedua dalam man niko doren yang merupakan kebun-kebun adat dari kedua suku ile jadi yaitu Tena Wahan dan Lebaluk karena benih yang pertama harus dibawa ke sini. Hal yang sama dilakukan juga di dalam kebun-kebun yang lain.

Pada malam hari sebelum upacara menabur benih, dilakukan juga persiapan lainnya yaitu berkumpulnya para tua-tua dan pemilik kebun untuk upacara pembukaan kembali lumbung umum kampung dari suku Tena Wahan, di mana setiap kepala keluarga menaruh sebagian dari benihnya pada penutupan panen yang terakhir. Upacara ini disebut dengan buka’ keban yang berarti membuka lumbung. Di depan lumbung dibentangkan sehelai tikar dan seorang perempuan duduk di atasnya. Para laki-laki memberikan kepadanya sebuah keranjang padi yang besar yang diletakkannya pada kakinya yang terentang. Di dalam keranjang itu ia meletakkan sehelai baju adat berwarna hitam, sehelai sarung berwarna merah dan sebuah tempat pinang. Tuan tanah menaiki tangga menuju pintu lumbung dan membuka pintu yang dipalang. Dan dari dalam lumbung ia mengambil keranjang-keranjang kecil yang berisi benih dan memberikannya kepada para pemilik kebun yang meletakkannya di atas tikar di samping perempuan itu. Sementara tuan tanah memanjatkan doa yang pertama, seorang pemuda membawa kotak kecil yang dianyam dari daun lontar berisikan nasi serta dua ruas bambu berisikan air dan tuak ke batas kampung. Persembahan makanan itu diperuntukkan bagi roh-roh. Setelah pemuda itu kembali, perempuan tadi memberikan kepada pemilik kebun niko leun pakaian pesta dari dewi padi dan tempat pinang. Tugas pemilik kebun itu adalah membawa baju, sarung dan pinang itu ke pantai. Kemudian pemilik kebun itu meletakkan pinang serta pakaian pesta di atas batu nuba nara yang telah didirikan di tempat itu untuk mengenangkan peristiwa yang telah terjadi.

Ketika kembali ke lumbung padi, ia meletakkan kembali pakaian itu ke dalam keranjang dan bergabung dengan para tua-tua yang mulai memanjatkan doa-doa. Ketika selesai diucapkan doa yang terakhir, dibunuh lagi seekor babi dan darahnya diolesi keranjang besar yang dipangku oleh perempuan tadi lalu diolesi juga keranjang-keranjang kecil yang berisi benih dan jenang pintu lumbung. Sementara itu para pemuda memanggang seekor ayam untuk upacara selanjutnya yaitu huke di mana keranjang-keranjang dimasukkan kembali ke dalam lumbung dan disimpan di bagian dalam. Tidak lama kemudian perempuan itu juga menaiki tangga. Ia bertugas menjaga benih itu sepanjang malam. Puncak dan sekaligus penutupan upacara tersebut terjadi dalam bersama-sama membawakan mitos tentang perjalanan Tonu Wujo yang juga diiringin dengan tarian sampai pagi.

Cerita tentang persiapan-persiapan untuk menabur benih di atas berkaitan dengan etika lingkungan hidup. Dalam perkuliahan penulis bersma Prof. Armada Riyanto, penulis menangkap apa yang dikatakan oleh Prof. Armada bahwa etika lingkingan hidup mengajak manusia untuk melihat atau menaruh gambaran nilai yang difondasikan pada konsep tentang kosmos/dunia/hidup. Etika lingkungan hidup juga mempertahankan agar hukum alam tetap berjalan/membela kelestarian alam. Etika lingkungan hidup sering disebut juga etika kosmis/etika kosmologi. Etika ini juga memproduksi kebenaran-kebenaran etis yang mengatakan bahwa baik itu harus sampai pada pelestarian lingkungan. Berkaitan dengan etika lingkungan hidup yang mengajak untuk melestarikan lingkungan maka cerita masyarakat Lamaholot yang berkaitan dengan persiapan-persiapan untuk menabur benih dapat cocok jika berkaitan dengan etika ini. Dalam persiapan-persiapan untuk menabur benih dilakukan juga hal-hal yang menunjukkan sikap masyarakat setempat dalam pemeliharaan lingkungan seperti melakukan pembersihan ladang sebelum menabur benih. Membersihkan ladang merupakan salah satu usaha untuk melestarikan lingkungan agar lingkungan tidak dibiarkan begitu saja. Selain itu juga terlihat berbagai usaha masyarakat Lamaholot yang mencerminkan sikap mereka yang menghargai dan menghormati lingkungan atau alam sekitar seperti sebelum memulai menabur benih mereka membuat pagar mengelilingi lahan yang akan ditaburi benih agar dapat terhindar dari binatang-binatang besar, melakukan upacara menyembelih binatang yang anggota tubuhnya diletakkan di keempat sisi lahan tersebut beserta beberapa barang lainnya. Melihat ini dapat dikatakan bahwa masyarakat sepertinya “memberi makan” kepada alam. Hal ini terdorong oleh rasa cinta mereka kepada alam. Cinta membawa kepada keselamatan dan keselamatan itu bersifat universal (bdk. Armada. 2013: 168). Artinya cinta juga terhadapa alam.Mereka melihat alam sebagai saudara atau bahkan alam dilihat sebagai ibu yang memberi makan kepada mereka.

  • Bibliografi
  • Lihat Juga

  • Bibliografi

    Armada Riyanto, 2013. Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius.

    Karl-Heinz Kohl, 2009. Raran Tonu Wujo: Aspek-aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur. Maumere: Ledalero.


    Lihat Juga

    Tonu Wujo (Bahasa Larantuka, Flores Timur, NTT: hal “Tradisi Pengolahan Tanah dan Kultus Dewi Padi”)  Wuamalugere (Bahasa Larantuka, Flores Timur, NTT: hal “Upacara sehari sebelum pernikahan”)  Lodong Ana’ (Bahasa Larantuka, Flores Timur, NTT: hal “Mengeluarkan anak dari tempat arahnya”) 

    Oleh :
    Aloysius Dirgahayu Doren ()