Mori Kraéng Jari Agu Dédék (Bahasa Manggarai: Tuhan ‘Penjadi dan Pembentuk’)
Jari Agu Dédék merupakan dua kata kerja dalam bahasa Manggarai yang sering dikaitkan dengan Tuhan (Mori Kraéng). Jari = Menjadi, berhasil, berjalan baik, menjadikan. Dédék = Membuat, menempa, membentuk. Kata Dédék biasanya dipakai untuk hal membuat perabot, periuk tanah, uang, cincin dan lain sebagainya. Orang yang melahirkan anak juga biasanya dikenakan dengan kedua kata ini yakni ata jari agu dédék anak (seorang yang telah menjadikan dan membuat/melahirkan anak). (Verheijen, 1991: 38)
Dengan demikian Mori Kraéng Jari Agu Dédék (Bahasa Manggarai: Mori Kraéng = Tuhan, Jari = penjadi, pembuat, Agu = dan, Dédék = pembentuk) bila diterjemahakan secara harafiah berarti Tuhan adalah Penjadi dan Pembentuk. Dengan kata lain Mori Kraéng Jari Agu Dédék dapat diterjemahkan Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu atau Allah adalah satu-satunya pencipta segala sesuatu atau Tuhan yang dipandang sebagai pembuat seluruh jagat raya. (Verheijen, 1991: 78)
Istilah Mori Kraéng Jari Agu Dédék ini merupakan sebuah istilah lazim yang sering dipakai oleh seluruh Masyarakat Manggarai tanpa terkecuali oleh Warga Suku Besi. Suku Besi terletak di Kecamatan Kuwus, Desa Wajur. Suku Besi merupakan suku terbesar dibanding suku-suku lain di kampung Wajur. Dikatakan suku terbesar karena suku inilah yang mengawali kehidupan di kampung Wajur. Jarak dari kota Kabupaten Manggarai Barat-Labuan Bajo ke kampung Wajur kurang lebih 150 kilo meter.
Mori Kraéng Jari Agu Dédék tidak hanya dikenal sebagai Tuhan yang menciptakan segala sesuatu tetapi Ia juga dikenal sebagai penyelenggara dan pemelihara segala sesuatu. Dengan kata lain Mori Kraéng Jari Agu Dédék juga merupakan pemelihara dari seluruh ciptaan atau buatan-Nya sendiri. (Verheijen, 1991: 79)
Masyarakat Manggarai secara khusus warga Suku Besi juga mengamini bahwa Tuhanlah pencipta segala sesuatu. Gambaran bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu itu termuat dalam berbagai cerita dari nenek moyang orang Manggarai dan dalam berbagai doa yang mereka persembahkan. Salah satu contoh yang nampak adalah dari kutipan berikut “Liong kali dédék ité, émé toe le Morin? Liong kali tinud ité, émé toe le Morin? Liong tara moséd wéang ca, wéang ca, émé toe le Morin?... itu tara nggo’on tenang nai dité: toe te toe manga Morin, manga! (Bahasa Manggarai: oleh siapakah gerangan kita dibentuk (diciptakan) kalau bukan oleh Tuhan (Morin)? Oleh siapakah hidup kita diselenggarakan, kalau bukan oleh Tuhan (Morin)? Oleh siapakah segala mahluk (hewan dan tumbuh-tumbuhan) memperoleh hidup, kalau bukan oleh Tuhan (Morin)?...Karena itu kita pun memikirkan dalam hati: tidak boleh tidak Tuhan (Morin) itu ada, Dia memang ada! (Verheijen, 1991: 36)
Dalam doa-doa yang biasa dipanjatkan oleh masyarakat Manggarai tidak terkecuali warga Suku Besi juga terkandung makna bahwa Tuhanlah pencipta segala sesuatu. Berikut adalah bentuk dan kutipan beberapa doa yang biasa dipanjatkan oleh masyarakat Manggarai “Dengé le Hau ata Mori, hau ata dédék iné wai agu ata rona” (Bahasa Manggarai: Dengarkanlah Engkau yang adalah Tuhan, Engkau yang menjadikan, menciptakan perempuan dan lelaki), “Mori Kraéng pu’un jari, Mori Wangkan olo” (Bahasa Manggarai: Tuhan adalah sumber kejadian, Tuhan adalah awal mula pertama), “Ai Wangkan agu comong pandé de Hau Jari Agu Dédék (Bahasa Manggarai: karena awal dan akhir Engkaulah yang membuatnya, O Pencipta). (Verheijen, 1991: 79)
Dari cerita dan ungkapan doa di atas yang menyebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu sekaligus pemelihara serta pemberi kehidupan bagi manusia. Maka sudah pantas dan layaklah Masyarakat Manggarai secara khusus warga Suku Besi untuk mensyukuri dan merawat segala ciptaan-Nya. Dalam hal mensyukuri dan merawat ciptaan-Nya (merawat bumi) masyarakat Manggarai secara keseluruhan memiliki sebuah kebiasaan yang baik yakni menuang air atau minuman sedikit ke tanah sebelum minum. Kebiasaan ini merupakan ritus doa orang Manggarai sebagai ucapan terimakasih atau sebagai ungkapan wujud syukur. Hal ini biasanya dilakukan dalam tradisi lodok. (Lawang, 1999: 33)
Orang Manggarai mempercayai bahwa tanah merupakan tempat manusia berpijak. Karena itu, tanah harus dipelakukan dengan hormat dan harus dihargai sebab dari tanahlah manusia memperoleh hasil bumi dan dari tanahlah tempat manusia berpijak serta mendirikan rumah. Hal ini biasanya dilakukan kapan saja dan di mana saja. Namun, ada yang berpendapat bahwa kebiasaan baik ini tidak dapat dihubungkan atau dipastikan bahwa tindakkan menuangkan air atau minuman ke tanah merupakan sebagai bentuk wujud syukur manusia Manggarai kepada tanah yang diciptakan oleh Tuhan sendiri. Sebab, hal ini tidak ada kesesuaian dengan kondisi alam Manggarai dimana terjadi kerusakan tanah dan lingkungan karena pembabatan hutan secara besar-besaran sampai pada pertengahan abad kedua puluh ini. (Lawang, 1999: 33)
Namun, penulis tidak menyetujui pendapat tersebut. Bagi penulis, tindakkan tersebut tetaplah memiliki makna sebagai ungkapan syukur dan terimakasih kepada tanah yang memberikan hasil bumi. Selain itu, tindakan ini juga memiliki makna sebagai penghormatan kepada Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu. Memang pada abad modern ini tindakkan ini tidak dapat dihubungkan atau didialogkan sebagai ungkapan syukur. Sebab, kenyataannya keadaan alam Manggarai saat ini hancur serta berantakkan. Hemat penulis, hal ini terjadi bukan karena ungkapan doa ini tidak memiliki makna sebagai ungkapan syukur dan terimakasih tetapi karena manusia Manggarai di jaman modern ini sudah melupakan Tuhan yang mereka sebut sebagai pencipta segala sesuatu. Sehingga, mereka bertindak sewenang-wenang dan dengan penuh nafsu yang buas merusak alam yang telah diciptakan oleh Tuhan sendiri.
Hal ini senada dengan seruan paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si. Sebuah Ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus sebagai bentuk keprihatinan Gereja terhadap kerusakkan alam sebagai akibat atau ulah manusia sendiri. Hal itu sangat nampak dalam kutipan berikut:
“ Bumi, rumah kita, mulai makin terlihat sebagai sebuah tempat pem buangan sampah yang besar. Di banyak tempat di dunia, orang lansia mengeluh bahwa lanskap yang pernah indah sekali sekarang ditutupi dengan sampah. Limbah industri maupun bahan kimia yang digunakan di kota dan daerah pertanian dapat menyebabkan akumulasi dan kerusakan pada organisme penduduk lokal, juga bila kadar racun di tempat itu masih rendah. Sering kali baru diambil tindakan ketika kerusakan permanen kesehatan masyarakat telah terjadi.” (Laudato Si, Art. 20)
“Namun tidak cukup untuk memikirkan pelbagai spesies hanya sebagai sumber potensial untuk dieks ploitasi, sambil melupakan fakta bahwa masing-masing memiliki nilai dalam dirinya sendiri. Setiap tahun hilang ribuan spesies tanaman dan hewan yang tidak pernah akan kita kenal lagi, dan tidak pernah akan dilihat anak-anak kita, ka rena telah hilang untuk selamanya. Sebagian besar punah karena alasan yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Karena kita, ribuan spesies tidak akan lagi memuliakan Allah dengan keberadaan mereka, atau menyampaikan pesan mereka kepada kita. Kita tidak punya hak seperti itu.” (laudato Si, Art. 33)
Seruan Paus Fransiskus di atas senada dengan keadaan bumi secara khusus di Manggarai. Bumi yang dulunya indah dan sejuk kini mulai tergerus hancur karena ulah dan nafsu manusia sendiri. Penambangan terjadi dimana-mana. Air bersih sangat susah dicari karena danau dan kali kini tercemar oleh air hasil penambangan. Rakyat jelata dirugikan tetapi penguasa tetap berjaya dan berpangku tangan menikmati hasil pekerjaan busuknya. Senyum simpul dan kata-kata indah telah mengelabui rakyat jelata. Iming-iming bahwa masuknya tambang akan menguntungkan masyarakat ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Penyuka kapitalisme tetap menjalankan rodanya tanpa memperhatikan sesamanya terutama alam sebagai rumah milik kita bersama. (Bdk, Hasiman, 2014:85-91).
Namun, Paus Fransiskus juga tidak hanya mengeluh dan menyadarkan manusia jaman ini. Tetapi, ia juga mengajak seluruh umat manusia baik dari golongan dan agama apapun untuk menjaga dan merawat bumi sebagai ibu kita atau rumah kita bersama serta sebagai ciptaan Tuhan. Manusia merupakan mahluk yang diciptakan secitra atau segambar dengan-Nya dan bukan berarti mahluk lain dan bumi ini diciptakan secara terpisah dari manusia. Allah menciptakan bumi ini untuk manusia dan manusia memiliki tanggungjawab untuk merawat bumi ini.
“Penegasan kita bahwa manusia adalah gambar Allah, tidak boleh membuat kita lupa bahwa setiap makhluk memiliki fungsi sendiri dan tidak ada satu pun yang berlebihan. Seluruh alam semesta materiil adalah bahasa cinta Allah, kasih sayang-Nya yang tak terbatas bagi kita. Tanah, air, gunung, semuanya ibarat belaian Allah. Sejarah persahabatan kita masing-masing dengan Allah selalu terkait dengan tempat-tempat tertentu yang mendapat makna yang sangat pribadi; kita semua ingat tempat-tempat dengan kenangan yang penuh berkat bagi kita. Orang yang telah dibesarkan di wilayah pegunungan, atau yang sebagai anak duduk minum di pinggir kali, atau bermain di lapangan desanya, ketika kembali ke tempat-tempat itu, menemukan kembali identitasnya sendiri.” (Laudato Si, Art. 84)
Seruan Paus Fransiskus ini juga teruntuk bagi Masyarakat Manggarai secara keseluruhan. Masyarakat Manggarai perlu menyadari kembali hakekat Allah yang disebutnya sebagai Mori Kraéng Jari Agu Dédék, Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Tuhan yang memelihara segala ciptaan-Nya. Tuhan yang memberi kehidupan kepada ciptaan-Nya. Tuhan yang menginginkan agar manusia mensyukuri dan berterimakasih atas segala pemberian-Nya baik melalui hasil tanaman maupun hasil bumi lainnya dan Tuhan menginginkan bahwa sebagai ungkapan syukur dari manusia Manggarai mereka perlu dan bertanggungjawab untuk merawat tanah atau bumi yang telah diciptakan-Nya.
Bibliografi
Hasiman, Ferdi. Monster Tambang: Gerus Ruang Hidup Warga Nusa Tenggara Timur. Jakarta: JPIC-OFM Indonesia. 2014.
Lawang, Robert, M, Z. Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat. Jakarta: Universitas Indonesia. 1999.
Paus Fransiskus. Ensiklik Laudato Si diterjemaahkan Harun, Martin. Ensiklik Laudato Si Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama. Jakarta: OBOR. 2015.
Verheijen, A, J. Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-RUL. 1991.
Lihat Juga
Firminus Marianto CM ()