Lodong Ana’ (Bahasa Larantuka, Flores Timur, NTT: hal “Mengeluarkan anak dari tempat arahnya”)
Di sebuah kota Larantuka yang juga disebut dengan kota Reinha (karena terkenal dengan ritual keagamaannya yang khas dan unik) terdapat suatu upacara yang disebut lodong ana’. Andre Z. Soh, dkk bersama tim Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984: 177) menjelaskan bahwa lodong ana’ mempunyai arti bahwa bayi yang baru lahir dibawa ke luar rumah untuk dibaptiskan menurut tata cara adat. Lodong berarti membawa dari tempat arahnya dan ana’ berarti anak. Upacara ini biasanya dilakukan setelah bayi yang baru lahir itu berumur empat puluh hari. Upacara ini mempunyai tahapan-tahapannya yang dapat digambarkan sebagai berikut: mula-mula pihak keluarga menyiapkan terlebih dahulu bahan-bahan upacara berupa sebuah kelapa muda, seekor ayam jantan, beberapa puluh ekor ikan dan beras. Sesudah itu pihak keluarga menyampaikan untuk mengadakan upacara lodong ana’ kepada pihak penyelenggara upacara sambil juga mengundang anggota keluarga yang lain untuk datang menghadiri upacara tersebut sembari ikut mendoakan sang anak.
Lanjutnya, upacara ini mempunyai maksud dan tujuannya. Upacara lodong ana’ bertujuan melantik sang bayi untuk menjadi anggota resmi agama atau kepercayaan yang dianut oleh orang tuanya, dalam hal ini agama asli. Hal ini dapat disamakan atau dibandingkan atau dikatakan seperti upacara penerimaan Sakramen Permandian dalam agama Katolik. Waktu pelaksanaannya biasanya dilakukan di pagi hari. Tempat penyelenggaraan upacara lodong ana’ diadakan didepan rumah kepala suku yaitu tempat khusus yang merupakan tempat upacara pemandian anak menurut kepercayaan asli masyarakat. Secara teknis, penyelengaraan upacara ini diatur oleh kelompok raja tuang. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini adalah ibu dari si bayi, kelompok raja tuang, kepala suku serta sanak saudara dari keluarga yang bersangkutan. Persiapan dan perlengkapan dari upacara ini adalah sebuah kelapa muda dan seekor ayam jantan.
Jalannya upacara menurut tahap-tahapannya sebagai berikut: pada hari yang telah ditetapkan oleh kelompok raja tuang sebagai pihak penyelengara upacara datang ke rumah kepala suku. Sementara itu, pihak keluarga telah menyiapkan bahan upacara berupa sebuah kelapa muda dan seekor ayam jantan. Kira-kira pukul 07.00 WIB upacara lodong ana’ dimulai. Ibu yang baru melahirkan tersebut dipanggil oleh kepala suku sambil menggendong bayinya ia keluar dan berdiri di halaman depan rumah. Sesudah itu imam upacara mulai menyampaikan doa-doa permohonan kepada Rera Wulan Tana Ekan dan arwah para leluhur. Doa permohonan tersebut dimaksudkan untuk memohon keselamatan bagi si bayi. Setelah imam upacara selesai menyampaikan doa permohonan tersebut, dilanjutkan dengan penyembelihan seekor ayam jantan. Dari dari ayam ini kemudian dibilas pada kelapa muda dan sedikit digosok pada bayi oleh raja tuang. Sesudah itu kepala muda tersebut dibelah dan airnya disiram di atas kepala sang bayi dan ibunya. Penyiraman air kelapa muda ini disebut homak yang berarti memberikan kesegaran kepada sang bayi. Setelah upacara lodong ana’ selesai dilakukan dilanjutkan dengan jamuan makan bersama. Setelah jamuan makan bersama juga telah selesai semua orang yang diundang kembali ke rumahnya masing-masing. Pada awalnya dalam masa bayi terdapat pantangan-pantangan yang harus dihindari. Upacara lodong ana’ merupakan upacara terakhir dalam masa bayi secara adat sehingga dengan berakhirnya upacara ini pantangan-pantangan dalam masa bayi pun berakhir. Jadi pantangan-pantangan yang harus dihindari pun tidak ada lagi. Telah dikatakan di atas bahwa perlengakpan yang dibutuhkan dalam upacara ini adalah air kelapa muda dan darah, kedua barang tersebut mempunyai maknanya masing-masing dalam upacara ini. Air kelapa muda melambangkan kesegaran dan penyucian diri (pembaptisan), sedangkan darah melambangkan kehidupan karena hidup ada di dalam darah itu sendiri.
Perlu diketahui juga bahwa masa lodong ana’ merupakan masa terakhir dalam upacara kelahiran dan masa bayi yang terdapat dalam masyarakat Lamaholot. Dalam upacara kelahiran dan masa bayi terdapat enam upacara yaitu upacara tilu kebekek (tuli=telinga dan kebekek=pekak sehingga tuli kebekek artinya telinga pekak/membuat bayi mulai mendengar); upacara agu-at (agu-at=selamatan/ucapan syukur); upacara helet kebote (helet=menyumbat dan kebote=ari-ari sehingga helet kebote berarti menyumbat ari-ari=menyimpan ari-ari dengan baik); upacara tali gelang (tali=tambah dan gelang=gelang tangan sehinga tali gelang berarti memberi hadiah kepada si bayi); upacara ohong (ohong=mencuci rambut dengan santan kelapa); dan terakhir adalah upacara lodong ana’. Seperti dalam upacara lodong ana’, masing-masing upacara di atas juga mempunyai tahap-tahapnya, maksud dan tujuannya, waktu dan tempat penyelenggaraannya, penyelenggaraan secara teknis, pihak-pihak yang terlibat dalam upacara tersebut, persiapan dan perlengkapan upacara, jalannya upacara menurut tahap-tahapnya, pantangan-pantangan yang harus dihindari serta lambang-lambang/makna yang terkandung dalam unsur-unsur dari masing-masing upacara tersebut.
Setelah melihat kebiasaan lodong ana’ yang berkembang dalam masyarakat Lamaholot ini, menurut pendapat penulis bahwa upacara ini berkaitan dengan etika komunitarian altuistik. Seperti yang sudah dijelaskan dalam tema sebelumnya tentang etika komuniarian altuistik ini, di sini penulis hanya menegaskan kembali bahwa etika ini mengajarkan manusia untuk menghargai, menerima dan mengakui keberadaan sesama dalam suatu kelompok. Sesama tidak boleh dilihat sebagai yang asing atau liyan. Melalui upacara lodong ana’ ini, penulis melihat bahwa betapa besarnya penghargaan dan penerimaan masyarakat (dalam hal ini terutama anggota keluarga) terhadap seorang bayi yang baru lahir. Walaupun ia masih bayi tetapi ia sudah sangat dihargai dan diterima keberadaaannya di dalam keluarga dan masyarakat. Prof. Armada (2013: 214) mengatakan bahwa kehadiran seorang anak, apakah itu saat lahir atau sat dia masih ada dalam kandungan adalah kehadiran pribadi manusia itu sendiri. Usaha in menunjukkan kepada kita bahwa seorang bayi pun dihargai apalagi manusia yang sudah dewasa. Usaha kecil yang dilakukan terhadapat seorang bayi menggambarkan perbuatan yang menjunjung tinggi rasa dan sikap saling menghargai dan menerima antara yang satu dengan yang lainnya. Tindakan ini harus terus dikembangkan dan ditanamkan sehingga dapat membantu sesama dan generasi berikutnya untuk dapat lebih menghargai dan menerima sesama dalam kehidupan bersama.
Bibliografi
Armada Riyanto, 2013. Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius.
Andre Z. Soh, dkk, 1984. Upacara Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lihat Juga
Aloysius Dirgahayu Doren ()